Minggu, 25 Desember 2011

SERBA-SERBI FILSAFAT


1.      SEBAB MANUSIA BERFILSAFAT

Menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia kagum atas apa yang dilihatnya, manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari keterbatasannya.Namun, sudah sejak awal sejarah ternyata sikap iman penuh taqwa manusia tidak menahan manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu.  Proses mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pengetahuan.  Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis,  sistematis dan  koheren, dan cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang (1) disusun metodis, sistematis dan koheren (“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang (2) dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut (Suriasumantri, 1996).

Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan (realitas).

Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan (realitas). Filsafat merupakan refleksi rasional (fikir) atas keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat (= kebenaran) dan memperoleh hikmat (= kebijaksanaan)(Suriasumantri, 1996).

Al-Kindi (801 - 873 M) : "Kegiatan manusia yang tertinggi adalah filsafat yang merupakan pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia. Bagian filsafat yang paling mulia adalah filsafat pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala kebenaran"(Suriasumantri, 1996).

Unsur "rasional" (penggunaan akal budi) dalam kegiatan ini merupakan syarat mutlak, dalam upaya untuk mempelajari dan mengungkapkan "secara mendasar" pengembaraan manusia di dunianya menuju akhirat.  Disebut "secara mendasar" karena upaya itu dimaksudkan menuju kepada rumusan dari sebab-musabab pertama, atau sebab-musabab terakhir, atau bahkan sebab-musabab terdalam dari obyek yang dipelajari  ("obyek material"), yaitu "manusia di dunia dalam mengembara menuju akhirat". Itulah scientia rerum per causas ultimas -- pengetahuan mengenai hal ikhwal berdasarkan sebab-musabab yang paling dalam.

Karl Popper (1902-?) menulis "semua orang adalah filsuf, karena semua mempunyai salah satu sikap terhadap hidup dan kematian.  Ada yang berpendapat bahwa hidup itu tanpa harga, karena hidup itu akan berakhir.  Mereka tidak menyadari bahwa argumen yang terbalik juga dapat dikemukakan, yaitu bahwa kalau hidup tidak akan berakhir, maka hidup adalah tanpa harga; bahwa bahaya yang selalu  hadir yang membuat kita dapat kehilangan hidup sekurang-kurangnya ikut menolong kita untuk menyadari nilai dari hidup".  Mengingat berfilsafat adalah berfikir tentang hidup, dan "berfikir" = "to think" (Inggris) = "denken" (Jerman), maka - menurut Heidegger (1889-1976), dalam "berfikir" sebenarnya kita "berterimakasih" = "to thank" (Inggris) = "danken" (Jerman) kepada Sang Pemberi hidup atas segala anugerah kehidupan yang diberikan kepada kita.

Menarik juga untuk dicatat bahwa kata "hikmat" bahasa Inggerisnya adalah "wisdom", dengan akar kata "wise" atau "wissen" (bahasa Jerman) yang artinya mengetahui. Dalam bahasa Norwegia itulah "viten", yang memiliki akar sama dengan kata bahasa Sansekerta "vidya" yang diindonesiakan menjadi "widya". Kata itu dekat dengan kata "widi" dalam "Hyang Widi" =  Tuhan.  Kata "vidya" pun dekat dengan kata Yunani "idea", yang dilontarkan pertama kali oleh Socrates/Plato dan digali terus-menerus oleh para filsuf sepanjang segala abad.

Menurut Aristoteles (384-322 sM), pemikiran kita melewati 3 jenis abstraksi (abstrahere  = menjauhkan diri dari, mengambil dari).  Tiap jenis abstraksi melahirkan satu jenis ilmu pengetahuan dalam bangunan pengetahuan yang pada waktu itu disebut filsafat:

Abstraksi pertama - fisika.  Kita mulai berfikir kalau kita mengamati.  Dalam berfikir, akal dan budi kita “melepaskan diri” dari pengamatan inderawi segi-segi tertentu, yaitu “materi yang dapat dirasakan” (“hyle aistete”). Dari hal-hal yang partikular dan nyata, ditarik daripadanya hal-hal yang bersifat umum: itulah proses abstraksi dari ciri-ciri individual. Akal budi manusia, bersama materi yang “abstrak” itu, menghasilan ilmu pengetahuan yang disebut “fisika” (“physos” = alam).

Abstraksi kedua - matesis. Dalam proses abstraksi selanjutnya, kita dapat melepaskan diri dari materi yang kelihatan.  Itu terjadi kalau akal budi melepaskan dari materi hanya segi yang dapat dimengerti (“hyle noete”). Ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh jenis abstraksi dari semua ciri material ini disebut “matesis” (“matematika” – mathesis = pengetahuan, ilmu).

Abstraksi ketiga - teologi atau “filsafat pertama”.  Kita dapat meng-"abstrahere" dari semua materi dan berfikir tentang seluruh kenyataan, tentang asal dan tujuannya, tentang asas pembentukannya, dsb.  Aras fisika dan aras matematika jelas telah kita tinggalkan.  Pemikiran pada aras ini menghasilkan ilmu pengetahuan yang oleh Aristoteles disebut teologi atau “filsafat pertama”.  Akan tetapi  karena ilmu pengetahuan ini “datang sesudah” fisika, maka dalam tradisi selanjutnya disebut metafisika.

Secara singkat, filsafat mencakup “segalanya”. Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan; disebut “sebelum” karena semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian dari filsafat dan disebut “sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi pertanyaan tentang batas-batas dari kekhususannya.

Dalam konteks yang lebih luas, Suharsaputra menyatakan bahwa perintah Iqra (bacalah) yang tertuang dalam Al Qur’an dapat dipahami dalam kaitan dengan dorongan Tuhan pada Manusia untuk berpengetahuan disamping kata Yatafakkarun (berfikirlah/gunakan akal) yang banyak tersebar dalam Al Qur’an. Semua ini dimaksudkan agar manusia dapat berubah dari tidak tahu menjadi tahu, dengan tahu dia berbuat, dengan berbuat dia beramal bagi kehidupan. semua ini pendasarannya adalah penggunaan akal melalui kegiatan berfikir. Dengan berfikir manusia mampu mengolah pengetahuan, dengan pengolahan tersebut, pemikiran manusia menjadi makin mendalam dan makin bermakna, dengan pengetahuan manusia mengajarkan, dengan berpikir manusia mengembangkan, dan dengan mengamalkan serta mengaplikasikannya manusia mampu melakukan perubahan dan peningkatan ke arah kehidupan yang lebih baik, semua itu telah membawa kemajuan yang besar dalam berbagai bidang kehidupan manusia (sudut pandang positif/normatif). Dengan demikian kemampuan untuk berubah dan perubahan yang terjadi pada manusia merupakan makna pokok yang terkandung dalam kegiatan Berfikir dan berpengetahuan. Disebabkan kemampuan Berfikirlah, maka manusia dapat berkembang lebih jauh dibanding makhluk lainnya, sehingga dapat terbebas dari kemandegan fungsi kekhalifahan di muka bumi, bahkan dengan Berfikir manusia mampu mengeksplorasi, memilih dan menetapkan keputusan-keputusan penting untuk kehidupannya. Pernyataan di atas pada dasarnya menggambarkan keagungan manusia berkaitan dengan karakteristik eksistensial manusia sebagai upaya memaknai kehidupannya dan sebagai bagian dari Alam ini.

2.      FILSAFAT SEBAGAI GRAND THEORY
Filsafat disebut grand theory ilmu pengetahuan di dunia karena filsafatlah yang menjadi ‘induk atau payung’ ilmu pengetahuan di dunia. Seperti yang diketahui, filsafat mencakup “segalanya”. Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan; disebut “sebelum” karena semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian dari filsafat dan disebut “sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi pertanyaan tentang batas-batas dari kekhususannya (Ammar, dkk, 2007: 3).
Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal.  Obyek material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan, yaitu gejala "manusia di dunia yang mengembara menuju akhirat".  Dalam gejala ini jelas ada tiga hal menonjol, yaitu manusia, dunia, dan akhirat.  Maka ada filsafat tentang manusia (antropologi), filsafat tentang alam (kosmologi), dan filsafat tentang akhirat (teologi - filsafat ketuhanan; kata "akhirat" dalam konteks hidup beriman dapat dengan mudah diganti dengan kata Tuhan).  Antropologi, kosmologi dan teologi, sekalipun kelihatan terpisah, saling berkaitan juga, sebab pembicaraan tentang yang satu pastilah tidak dapat dilepaskan dari yang lain.  Juga pembicaraan filsafat tentang akhirat atau Tuhan hanya sejauh yang dikenal manusia dalam dunianya.

Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat.

Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya.  Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi  (merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.

Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. "Segala manusia ingin mengetahui", itu kalimat pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala "manusia tahu".  Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat menggali "kebenaran" (versus "kepalsuan"), "kepastian" (versus "ketidakpastian"), "obyektivitas" (versus "subyektivitas"), "abstraksi", "intuisi", dari mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan.   Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama) menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan.  Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap gejala pengetahuan dicermati dengan teliti.  Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.

Pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan pengetahuan, batas-batas pengetahuan, asal dan jenis-jenis pengetahuan dibahas dalam epistemologi. Logika ("logikos") "berhubungan dengan pengetahuan", "berhubungan dengan bahasa".  Disini bahasa dimengerti sebagai cara bagaimana pengetahuan itu dikomunikasikan dan dinyatakan. Maka logika merupakan cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan cara berfikir serta aturan-aturan yang harus dihormati supaya pernyataan-pernyataan sah adanya.

Ada banyak ilmu, ada pohon ilmu-ilmu, yaitu tentang bagaimana ilmu yang satu berkait dengan ilmu lain. Disebut pohon karena dimengerti pastilah ada akar dari semua ilmu. Dan akar itu tidak lain adalah filsafat.





3.      FILSAFAT ILMU, FILSAFAT BAHASA, DAN FILSAFAT PENDIDIKAN
a.      Filsafat ilmu
Arti filsafat ilmu menurut The Liang Gie adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Sedangkan menurut Cornilius Binjamin filsafat ilmu adalah merupakan cabang pengetahuan filsafati yang menelaah sistimatis mengenai sifat dasar ilmu, metode-metodenya, dan peranggapan-peranggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual. Untuk lebih jelasnya, kita beri contoh, dalam kehidupan sehari-hari kita sudah terbiasa memanfaatkan benda-benda disekeliling kita, untuk itu wajar kalau kita mengenalnya dengan baik. Mulai dari perabotan rumah tangga, alat sekolah, flora dan fauna dan lain sebagainya . Pernahkah kita memikirkan bagaimana kita tiba-tiba memberi sebutan sesuatu dengan istilah tertentu? Bagaimana sebenarnya proses perkenalan kita dengan benda yang kita beri sebutan tertentu itu? Demikianlah, dengan adanya filsafat ilmu kita akan mengetahui atau minimal kita akan dilatih untuk berfikir tentang suatu ilmu itu diperoleh.

b.      Filsafat Bahasa
Sebelum mengkaji bahasan mengenai bahasa sebagai ilmu, ada baiknya kita telaah beberapa pandangan mengenai bahasa itu sendiri. Berbagai sumber menyatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi, dan dapat diartikan sebagai alat untuk mengkaji ilmu lain. Bahkan lebih mendalam lagi bahasa diartikan sebagai alat untuk membongkar seluruh rahasia simbol-simbol (Hidayat, 2009:31). Seorang linguis bernama Ronald Wardhaugh memberikan definisi bahwa bahasa ialah suatu sistem simbol-simbol bunyi yang arbitrer yang digunakan untuk komunikasi manusia (a system of arbitrary vocal symbols used for human communication).

Berdasarkan definisi di atas, dapat dikatakan bahwa di balik simbol-simbol yang ada di sekitar kita ada makna yang perlu dicari dan dibuktikan. Kegiatan ini memerlukan bahasa sebagai alat untuk mengkajinya sebagaimana yang kita ketahui bahwa usaha mencari hakikat kebenaran (berfilsafat) senantiasa beriringan dengan bahasa. Selain melihat bahasa sebagai alat, disadari bahwa bahasa itu sendiri adalah salah satu objek berupa simbol yang perlu dikaji. Dengan kata lain, bahasa merupakan salah satu kajian yang juga membutuhkan jawaban filsafat. Jika bahasa membutuhkan jawaban filsafat, maka permasalahan-permasalahan bahasa perlu dikaji secara kritis dan bertanggung jawab (Franz Magnis-Suseno dalam Hidayat, 2009:36). Problematika kebahasaan dapat dipecahkan dengan adanya usaha-usaha pemikiran yang mendalam dan sistematis atau analisis filsafat. Pemikiran-pemikiran tersebut akan membawa kita menemukan cara (metode) yang tepat untuk menemukan jawaban atau kebenaran atas problematika bahasa yang ada.

Salah satu teori yang menjelaskan tentang perkembangan bahasa sebagai ilmu dikemukakan oleh Mahsun  dalam buku yang berjudul Genolinguistik. Mahsun (2010:24) mengungkapkan bahwa menguak sejarah pertumbuhan linguistic sebagai ilmu pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari sejarah kajian linguistik yang dicapai bangsa Yunani kuno. Secara singkat dapat dikatakan bahwa sebelum berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu, bahasa merupakan bagian dari kajian filsafat. Setelah pengkajian kosa kata (glosari) pada naskah kuno dimulai, hal tersebut menjadi cikal bakal ilmu linguistik.

Bahasa sebagai ilmu juga dapat dibuktikan dengan lahirnya banyak teori mengenai bahasa dan teori-teori tersebut sudah dapat dipastikan muncul setelah melalui kegiatan berpikir yang cukup mendalam. Bahkan seiring perkembangan zaman, teori-teori akan bermunculan karena bahasa sebagai ilmu semakin luas cakupan bahasannya.

c.       Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan adalah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai keakar-akarnya mengenai pendidikan. Hubungan antara filsafat dan pendidikan terkait dengan persoalan logika, yaitu: logika formal yang dibangun atas prinsif koherensi, dan logika dialektis dibangun atas prinsip menerima dan membolehkan kontradiksi. Hubungan interakif antara filsafat dan pendidikan berlangsung dalam lingkaran kultural dan pada akhirnya menghasilkan apa yang disebut dengan filsafat pendidikan.
Beberapa penjelasan diberikan disini khusus mengenai filsafat tentang pengetahuan.  Dipertanyakan: Apa itu pengetahuan? Dari mana asalnya? Dan berbagai pertanyaan lainnya. Pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan pengetahuan, batas-batas pengetahuan, asal dan jenis-jenis pengetahuan dibahas dalam epistemologi. Logika ("logikos") "berhubungan dengan pengetahuan", "berhubungan dengan bahasa".  Disini bahasa dimengerti sebagai cara bagaimana pengetahuan itu dikomunikasikan dan dinyatakan. Maka logika merupakan cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan cara berfikir serta aturan-aturan yang harus dihormati supaya pernyataan-pernyataan sah adanya.

Berdasarkan penjelasan di atas, jika dikaitkan dengan pendidikan ilmu bahasa maka perlu dipahami bahwa sebagai dasar berpikir dan bertindak ilmiah dibutuhkan cara berpikir filsafat. Jika kemampuan berpikir kritis dan sistematis telah menjadi kebiasaan maka hal tersebut menjadi bekal dalam mengkaji ilmu, khususnya ilmu bahasa. Sebagai pelaku pendidikan bahasa, selain memerlukan sikap kritis dan sistematis terhadap ilmu bahasanya sebagai objek, perlu dipahami juga bahwa bahasa adalah alat untuk mengkaji ilmu itu sendiri, terutama dalam mendidik. Hal ini juga menjadi bahan yang mengarahkan pendidik agar lebih memperdalam kajian bahasa dan tidak ‘sekedar’ mengajar.

4.      FILSAFAT “TELUR ATAU AYAM” DAN “BIJI ATAU POHON”
Menurut Plato, sebelum ayam dan telur ada “ide” ayam dan telur. Ayam mesti duluan ada dari telur, karena dalam ide ayam terkandung ide telur. Sedang dalam ide telur, tidak serta-merta ide ayam mengikuti, bisa jadi telur yang dimaksud adalah telur bebek. Sedangkan menurut Aristoteles, ayam adalah sebab dari telur, dan karenanya ayam lebih dulu dari telur. Sebab mesti lebih utama dari akibat. Ayam mampu melindungi dan mencukupi dirinya sendiri. Sementara telur butuh induk ayam untuk mengeraminya. Mustahil telur lebih dulu dari ayam, sebaimana mustahil akibat mendahului sebab.
Walaupun jawaban dari Plato dan Aristoteles sudah cukup meyakinkan, referensi lain yang dapat mendukung hal tersebut adalah sebagai berikut.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”(Q.S.2:64)
Penjelasan disebarkannya hewan di bumi merupakan salah satu indikasi bahwa hewanlah yang muncul pertama, termasuk ayam, bukan telur.

Sama halnya dengan pertanyaan di atas, biji atau pohon yang terlebih dahulu ada, maka jawabannya adalah biji. Hal ini didasarkan pada pandangan Aristoteles  bahwa kenyataan dunia berada di dalam materi, bahan yang membentuk dunia(Smith and Raeper, 2000:20). Ia memandang masalah perubahan dalam Physica dengan pengumpamaan pada pohon Eik. Salah satu dasar yang menguatkan pendapat bahwa bijilah yang ada terlebih dahulu adalah sebagai berikut.
Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. demikian ialah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling?”(Q.S. 6:95)

5.      PILIHAN MENJADI ORANG BERILMU, BERPENGETAHUAN, ATAU FILSUF
Jika diminta memilih maka saya akan memilih menjadi seorang filsuf karena dari sudut pandang filsafat, aktivitas berpikir tertinggi manusia adalah berfilsafat. Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. "Segala manusia ingin mengetahui", itu kalimat pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala "manusia tahu".  Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat menggali "kebenaran" (versus "kepalsuan"), "kepastian" (versus "ketidakpastian"), "obyektivitas" (versus "subyektivitas"), "abstraksi", "intuisi", dari mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan.   Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama) menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan.  Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap gejala pengetahuan dicermati dengan teliti.  Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan. Hal ini berarti ilmu itu adalah bagian pengetahuan yang telah memenuhi syarat sistematis, metodologis, kritis, dan berobjek. Sedangkan filsafat mecoba merenungkan segala yang terlihat maupun yang belum terlihat.





DAFTAR PUSTAKA

Djojosuroto, Kinayati. 2007. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Pustaka.
Drijarkara, N. 2007. Filsafat Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
Hidayat, Asep Ahmad. 2009. Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda. Bandung: Rosda.
Mahsun. 2010. Genolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan bercorak Indonesia, Jakarta:PT. Rineka Cipta.
Poedjawijatna. 2005. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta.
Purwanto, Ngalim. M. 2003. Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sholihin, Muhammad., 2007. Perkembangan Pemikiran Filsafat Klasik hingga Modern. Bandung; CV. Pustaka Setia.
Smith, Linda dan Raeper. 2000. Ide-Ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang. Yogyakarta:Kanisius.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Suriasumantri, S. Jujun. 1996. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tafsir, Ahmad., 2005. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung; PT Remaja Rosdakarya.
Tafsir, Ahmad. 2009. Filsafat Ilmu:Mengurai Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Wiramihardja, Sutardjo A. 2006. Pengantar Filsafat. Bandung: PT Refika Aditama.
Kumpulan Resume Filsafat ‘What is Science

LAPORAN PELAKSANAAN UJI COBA KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP) DI SMP NEGERI 2 MATARAM


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
           Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab. Untuk mengemban tugas tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem Pendidikan Nasional sebagaiman tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
           Pendidikan Nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi serta efisiensi manajemen pendidikan. Pemerataan kesempatan pendidikan diwujudkan dalam program wajib belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olahhati, olah pikir, olah rasa, olah raga agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global. Peningkatan relevansi pendidikan dimaksudkan untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan yang berbasis potensi sumber daya alam Indonesia. Peningkatan efisiensi manajemen pendidikan dilakukan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah yang dilaksanakan secara terencana, terarah dan berkesinambungan.
            Implementasi Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun delapan standar nasional pendidikan, yaitu: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
           Berkaitan dengan hal tersebut maka masing-masing sekolah diberikan kewenangan untuk menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sesuai dengan kondisi dan potensi sekolah. Mengingat penulis menjadi guru bertugas di SMP Negeri 2 Mataram, maka penulis menerapkan model pembelajaran KTSP pada Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Mataram tahun pelajaran 2010/2011.
Desain pembelajaran instruksional model KTSP yang diuji cobakan ini adalah berfokus pada keterampilan berbicara. Berdasarkan hasil pengamatan selaku guru bidang studi Bahasa Indonesia, maka uji coba akan dilakukan di kelas VII H, mengingat kemampuan berbicara siswa masih tergolong rendah, hal ini disebabkan oleh berbagai factor, seperti metode pembelajaran, fasilitas, dan minat siswa terhadap keterampilan berbicara.
Sebagai salah satu faktor penyebab tersebut adalah kurangnya pemahaman bahwa peserta didik tidak hanya berfungsi sebagai pendengar dan penyimak melainkan menjadi pusat pembelajaran dan pelaku aktif dalam mengaplikasikan materi-materi yang diberikan oleh seorang pendidik. Tuntutan tersebut dapat dicapai apabila pendidik mampu menerapkan metode yang tepat dalam mengajar. Keberhasilan metode yang digunakan dalam menyampaikan materi dapat diukur dengan keberhasilan siswa dalam menyerap materi yang diajarkan yaitu pada tahap evaluasi. Namun, pada kenyataannya dalam pembelajaran di kelas masih banyak terdapat permasalahan. Permasalahan ini disebabkan standar kompetensi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang dimaksud belum tercapai secara optimal. Salah satu kendala yang menjadi permasalahan tersebut adalah kurangnya kemampuan berbicara siswa di dalam kelas. Kendala ini dapat dilihat dari tingkat antusias dan partisipasi siswa dalam mengikuti pembelajaran. Namun, pada kenyataanya, diketahui bahwa kurangnya kemampuan berbahasa siswa pada mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia menjadi salah satu penghambat pelaksanaan proses pembelajaran di dalam kelas.
Berdasarkan observasi yang telah dilakukan pada siswa kelas VII H di SMP Negeri 2 Mataram, diketahui bahwa sebagian besar siswa kelas VII H memilki kesulitan dalam hal keterampilan berbicara. Kondisi ini disebabkan adanya rasa takut salah, segan dan malu terhadap guru dan siswa yang lain. Selain itu, kurangnya perbendaharaan kata yang dimiliki siswa, ketergantungan kepada salah seorang siswa dan dominasi salah satu siswa dalam tugas berkelompok menjadi salah satu penyebab kelemahan dalam meningkatkanketerampilan berbicara siswa di kelas.
Permasalahan tersebut tidak dapat dibiarkan begitu saja karena semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditempuh, keterampilan berbicara semakin dibutuhkan. Hal ini menyangkut tanggung jawab dan kewajiban seorang pendidik untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut. Pada dasarnya, permasalahan yang terjadi di dalam kelas akan dapat diselesaikan dengan pemilihan cara atau metode yang tepat, yaitu metode yang menarik, menyenangkan dan melibatkan partisipasi siswa. Oleh karena itu, harus diupayakan suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran guna mengatasi permasalahan tersebut.
                  Memperhatikan ilustrasi di atas, maka dalam penerapan desain pembelajaran model KTSP ini, penulis mengambil satu fokus keterampilam yaitu keterampilan berbicara. Adapun Standar Kompetensi (SK) yang diuji cobakan adalah Standar Kompetensi memahami wacana tulis melalui kegiatan membaca intensif dan membaca memindai dengan Kompetensi Dasar (KD) mengemukakan hal-hal yang dapat diteladani dari buku biografi yang dibaca secara intensif.

1.2 Tujuan          
Tujuan penulisan laporan ini di tinjau dari dua segi, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus, antara lain sebagai berikut:
A. Tujuan Umum:
            Untuk mengaplikasikan teori desain pembelajaran instruksional yang diperoleh di lembaga pendidikan FKIP Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Program S2 ke dalam kinerja situasi nyata di kelas, dalam kegiatan belajar mengajar maupun tugas-tugas keguruan lainnya.
B. Tujuan  Khusus:
            Untuk mendeskripsikan penerapan model pembelajaran KTSP ini di sekolah, khususnya di kelas pada materi berbicara. Hal ini media uji coba dan pembuktian bagi guru, kepala sekolah/pengawas, siswa dan orang tua siswa, juga lembaga pendidikan FKIP Universitas Mataram (LPTK). Untuk jelasnya akan diuraikan berikut ini:
1)      Bagi guru:
Sebagai pedoman atau acuan dalam melaksanakan proses pembelajaran di sekolah
2)  Bagi Kepala Sekolah/Pengawas
Sebagai pedoman dalam melaksanakan supervisi atau pengawasan
      3)  Bagi siswa
            Hasil laporan ni akan sangat bermanfaat bagi siswa terutama untuk meningkatkan kemampuan berbicara.
3)  Bagi orang tua siswa dan masyarakat
Sebagai pedoman dalam membimbing anaknya belajar di rumah, dan memberikan dukungan/bantuan demi terselenggaranya proses pendidikan di sekolah.
      4)  Bagi LPTK
            Hasil penerapan model pembelajaran ini dapat dijadikan bahan kajian ilmiah.

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1  Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
      A. Pengertian Kurikulum
     Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
      Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)  adalah kurikulum operasional  yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. (PP No. 19 th 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan)
      KTSP merupakan salah satu bentuk realisasi kebijakan desentralisasi di bidang pendidikan agar kurikulum benar-benar sesuai dengan kebutuhan pengembangan potensi peserta didik di sekolah dengan mempertimbangkan kepentingan lokal, nasional dan tuntutan global dengan semangat Manajemen Berbasis Sekolah  (MBS).

B. Dasar/Landasan KTSP
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
2. PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
3. Delapan Standar dalam KTSP, antara lain:
   1) Permendiknas Nomor  22 tahun 2006 tentang Standar Isi
2)      Permendiknas Nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan
3)      Permendiknas Nomor 24 tahun 2006 dan Nomor 6 tahun 2007 tentang Pembiayaan
4)      Permendiknas Nomor 41 tahun 2007 tentang Standar Proses
5)      Permendiknas Nmor 24 tahun 2007 tentang Standar Sarana
dan Prasarana
8)  Permendiknas Nomor 19 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan
9)  Permendiknas Nomor 20 tahun 2007 Standar Penilaian
10) Permendiknas Nomor 12,13,16 tentang Tenaga Pendidik dan Kependidikan

C. Struktur KTSP
   Secara dokumentatif  komponen KTSP dikemas menjadi dua dokumen, yaitu dokumen I, dan dokumen II.
Ø  Dokumen I memuat acuan pengembangan KTSP, tujuan pendidikan, struktur dan muatan KTSP, dan kalender pendidikan.
Ø  Dokumen II memuat silabus dari SK/KD yang dikembangkan pusat dan silabus dari SK/KD yang dikembangkan sekolah (muatan local dan mata pelajaran tambahan).
Secara garis besar struktur kedua dokumen tersebut tergambar sebagai berikut:
ISI/MUATAN KTSP
DUKUMEN  I
DUKUMEN II
BAB I     PENDAHULUAN

BAB II   TUJUAN PENDIDIKAN

BAB III  STRUKTUR  DAN MUATAN
   KURIKULUM

BAB IV  KALENDER PENDIDIKAN


A. SILABUS DARI SK/KD YANG   DIKEMBANGKAN PUSAT.

 B. SILABUS DARI SK/KD YANG DIKEMBANGKAN SEKOLAH (MULOK, MAPEL TAMBAHAN)





D. Komponen KTSP
Kurikulum tingkat satuan pendidikan memiliki empat komponen, yaitu: 1) tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, 2) struktur dan muatan KTSP, 3) kalender pendidikan, silabus dan rencana pelaksanaan pengajaran (RPP).
1. Tujuan Pendidikan Tingkat Satuan Pendidikan
Tujuan pendidikan tingakat satuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, ahlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri serta mengikuti pendidikan lebih lanjut.

2. Struktur dan Muatan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
·      Struktur kurikulum tingkat satuan menengah tertuang dalam Standar Isi yang dikembangkan dari kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, dan mata pelajaran jasmani, olah raga dan kesehatan.
·      Muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan meliputi sejumlah mata pelajaran yang keluasan dan kedalamanya merupakan beban belajar.
Muatan KTSP meliputi: mata pelajaran, muatan lokal, kegiatan pengembangan diri, pengaturan beban belajar, kenaikan kelas, penjurusan,dan kelulusan, pendidikan kecakapan hidup, dan pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global.

3. Kalender Pendidikan
            Satuan pendidikan dapat menyusun kalender pendidikan sesuai dengan kebutuhan daerah, karakterstik sekolah, kebutuhan peserta didik dan masyarakat, dengan memperhatikan kalender pendidikan sesuai tercantum dalam Standar Isi.



4. Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pengajaran
            Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan standar kompetensi ke dalam materi pokok, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Berdasarkan silabus inilah guru bisa mengembangkannya menjadi RPP yang akan diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar bagi siswa.

E. Prinsip-prinsip Pengembangan KTSP

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip  sebagai berikut: 1) Berpusat pada Potensi, Perkembangan, Kebutuhan, Kepentingan  Siswa   dan Lingkungannya. 2) Beragam dan Terpadu.3) Tanggap terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni. 4) Relevan dengan Kebutuhan Kehidupan. 5) Menyeluruh dan Berkesinambungan. 6) Belajar Sepanjang Hayat. 7) Seimbang antara Kepentingan Nasional dan Kepentingan Daerah.

F. Langkah-Langkah Pengembangan KTSP

       Secara teknis, pengembangan pelaksanaan KTSP dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu analisis konteks,, mekanisme penyusunan, dan pemberlakuan.
1. Analisis konteks.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam analisis konteks adalah sebagai berikut:
·           Menganalisis potensi dan kekuatan/kelemahan yang ada di sekolah, seperti : peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, biaya, dan lingkungan.
·           Menganalisis peluang dan tantangan yang ada di masyarakat dan lingkungan sekitar.
·           Mengidentifikasi Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) sebagai acuan dalam penyusunan KTSP.
2. Mekanisme Penyusunan
Pada mekanisme penyusunan, yang perku diperhatikan adalah pembentukan tim penusun dan perencanaan kegiatan.
·           Tim penyusun KTSP  dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinyaoleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah dibawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.
·                  Kegiatan.
Penyusunan KTSP merupakan bagian dari kegiatan perencanaan sekolah. Kegiatan ini dapat berupa rapat kerja yang dilengaarakan dalam jangka waktu sebelum tahun pelajaran baru.
 3. Pemberlakuan.
Dokumen KTSP dinyatakan berlaku oleh kepala sekolah serta diketahui oleh komite sekolah dan dinas kabupaten/ kota yang bertanggung jawab di bidang pendidikan.
Ketiga tahapan pelaksanaan pengembangan KTSP dapat divisualisasikan sebagai berikut:

G. Pengembangan Silabus Dan Rencana Pelaksanan Pembelajaran (RPP)
1.  Pengembangan Silabus
Silabus merupakan produk utama dari pengembangan kurikulum sebagai suatu rencana tertulis pada suatu satuan pendidikan yang harus memiliki keterkaitan dengan produk pengembangan kurikulum lainnya, yaitu proses pembelajaran.
Langkah-lagkah pengembangan silabus, antara lain: 1) Mengkaji Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar 2) Mengidentifikasi  materi pokok. 3) Mengembangkan pengalaman belajar 4) Merumuskan indikator keberhasilan belajar. 5) Menentukan jenis penilaian. 6) Menentukan alokasi waktu 7). Menentukan sumber belajar.
Adapun pengembangan silabus meliputi komponen sebagai berikut :
1) Identitas. 2) Standar Kompetensi. 3) Kompetensi Dasar. 4) Materi Pokok/Pembelajaran. 5) Kegiatan Pembelajaran.6) Indikator. 7) Penilaian. 8) Alokasi waktu. 9) Sumber belajar.

2. Pengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Pembelajaran pada dasarnya merupakan proses yang ditata dan diatur sedemikian rupa, menurut langkah-langkah tertentu agar dalam pelaksanaannya dapat mencapai hasil yang diharapkan. Pengaturan tersebut dituangkan dalam bentuk perencanaan pembelajaran. Setiap perencanaan selalu berkenaan dengan perkiraan atau proyeksi mengenai apa yang diperlukan dan apa yang akan dilakukan. Demikian halnya, perencanaan pembelajaran memperkirakan atau memproyeksikan mengenai tindakan apa yang akan dilakukan pada saat melaksanakan kegiatan pembelajaran. Mungkin saja dalam pelaksanaannya tidak begitu persis seperti apa yang telah direncanakan, karena proses pembelajaran itu sendiri bersifat situasional. Namun, apabila perencanaan sudah disusun secara matang, maka proses dan hasilnya tidak akan terlalu jauh dari apa yang sudah direncanakan. Istilah perencanaan pembelajaran yang saat ini digunakan berkaitan dengan penerapan KTSP di sekolah-sekolah di Indonesia yaitu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).

Adapun Pengembangan Rencana Pelaksanaa Pembelajaran meliputi komponen sebagai berikut: 1) Identitas. 2) Standar kompetensi. 3) Kompetensi dasar. 4) Tujuan pembelajaran. 5) Materi pembelajaran. 6) Metode pembelajaran. 7) Langkah-langkah kegiatan pembelajaran. 8) Sumber belajar. 9) Penilaian.
Sebelum guru membelajarkan peserta didik di dalam kelas, guru  menyiapkan: 1) Kalender pendidikan. 2) Analisis jam efektif. 3) Program tahunan. 4) Program semester. 5) Pemetaan. 6) Silabus.7) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). 8) Lembar Kerja Siswa (LKS). 9) Media. 10) Jurnal kelas. 11) Daftar absen. 12) Daftar nilai . 13) Analisis ulangan harian. 14) Buku remidial. 15) Buku pengayaan. 16) Buku problematik siswa.


C.   Langkah Pengembangan Silabus
  1. Mengkaji Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
  1. Mengidentifikasi  materi pokok
  1. Merumuskan indikator keberhasilan belajar
  1. Menentukan jenis penilaian
  1. Menentukan alokasi waktu
  1. Menentukan sumber belajar
  2. ( Komponen silabus hanya menambahkan identifikasi sekolah, mapel,  semester, dan tapel). Dilanjutkan dengan menyusun:
a.       Pemetaan Kompetensi Dasar per unit
b.      Analisis alokasi waktu
c.       Program Tahunan dan Program Semester
d.      Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

2.2   BERBICARA
A. Pengertian Berbicara
Secara umum, berbicara dapat diartikan sebagai suatu penyampaian maksud (ide, pikiran, isi hati) seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan, sehingga maksud tersebut dapat dipahami oleh orang lain (Depdikbud dalam Khairawati, 2007:9).
Menurut Greene dan Petty (1971) berbicara adalah suatu keterampilan berbahasa yang berkembang pada kehidupan anak yang hanya didahului oleh keterampilan menyimak, dan pada masa tersebut kemampuan berbicara attau berujar dipelajari (Tarigan, 1981:3).
Menurut Mulgrave (1954), berbicara adalah suatu alat untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kabutuhan sang pendengar atau penyimak (Tarigan, 1981:15). Dalam hal ini, berbicara berfungsi sebagai instrumen yang mengungkapkan kepada penyimak hampir-hampir secara langsung apakah sang pembicara memahami atau tidak baik bahan pembicaraannya maupun para penyimaknya; apakah dia bersikap tenang serta dapat menyesuaikan diri atau tidak, pada saat pambicara mengkomunikasikan gagasan-gagasannya; dan apakah pembicara waspada serta antusias atau tidak.
Secara khusus, Tarigan (1981:15) mengemukakan bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekespresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan.
Sebagai perluasan dari batasan ini dapat dikatakan bahwa berbicara merupakan suatu sistem tanda-tanda yang dapat didengar (audible) dan yang kelihatan (visible) yang memanfaatkan sejumlah otot dan jaringan otot tubuh manusia demi maksud dan tujuan gagasan-gagasan atau ide-ide yang dikombinasikan. Lebih jauh lagi, berbicara merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, neorologis, semantik, dan linguistik sedemikian ekstensif, secara luas sehingga dapat dianggap sebagai alat manusia yang paling penting bagi kontrol sosial.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa berbicara adalah suatu kemampuan atau keterampilan mengucapkan kata-kata sebagai alat menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan.

B. Tujuan Berbicara
            Tarigan (1981:15) menyatakan bahwa tujuan utama dari berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif, maka seyogyanyalah sang pembicara memahami makna segala sesuatu yang ingin dikomunikasikan.
         Pembicara harus mampu mengevaluasi efek komunikasinya terhadap para pendengarnya. Pembicara juga harus mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari segala situasi pembicaraan, baik secara umum maupun perorangan.
Menurut Ochs dan Winker (1979), pada dasarnya berbicara mempunyai tiga maksud umum, yaitu:
1.      memberitahukan, melaporkan                            (to inform)
2.      menjamu, menghibur                                          (to entertain)
3.      membujuk, mengajak, mendesak, meyakinkan  (to persuade)
Gabungan atau campuran dari maksud-maksud itupun mungkin saja terjadi. Suatu pembicaraan misalnya mungkin saja merupakan gabungan melaporkandan menjamu begitu pula mungkin sekaligus menghibur dan meyakinkan (dalam Tarigan, 1981:16).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan berbicara adalah untuk berkomunikasi secara efektif agar maksud pembicara dapat dimengerti oleh pendengarnya.

2.3 TOKOH IDOLA
           Menceritakan  tokoh idola dengan mengemukakan identitas dan keunggulan tokoh serta alasan mengidolakannya dengan pilihan  kata yang sesuai.
3.1  Pengertian Tokoh dan Biografi
a.    Tokoh:
Tokoh adalah orang yang terkemuka dan kenamaan
Dapat disebut tokoh karena ia mempunyai kelebihan, keikhlasan, dan keunikan dalam hal atau bidang tertentu yang membedakannya dengan orang lain.
b.   Biografi
Biografi adalah kisah hidup seseorang yang ditulis oleh orang lain.Penulisan biografi didasarkan pada sudut pandang penulis terhadap seluruh aspek kehidupan tokoh yang ditulisnya. Penulis dapat melakukan penulisan dengan mengamati aktivitas tokoh secara langsung ataupun tidak langsung. Penulis biografi dapat melakukan pencarian data tentang tokoh dengan bertanya kepada orang-orang terdekat sang tokoh atau melalui sumber tertulis, seperti arsip berita di media cetak.
3.2 Tokoh-Tokoh di Indonesia dan Dunia
a.   Indonesia
Soekarno dan Hatta(Proklamator), R.A. Kartini(Pahlawan Wanita), Anton Moedardo Moeliono (Ahli Bahasa), Chrisye(Pencipta lagu dan penyanyi).
b.  Dunia
Nabi Muhammad SAW, Ellen Ochoa (Astronot Perempuan), Alexander Grahambell (Penemu Telepon), Ts’ai Lun, Bill Gates, Kolonel Sanders.


BAB III
LAPORAN HASIL DAN PEMBAHASAN

A.                         Setting Pelaksanaan KBM
Lokasi pelaksanaa kegiatan belajar mengajar dilaksanakan di SMP Negeri 2 Mataram. Sekolah ini terletak di jalan Pejanggik nomor 5 Mataram, kecamatan Mataram, kota Mataram. Sebagai subjek/ peserta didik dalam KBM adalah siswa kelas VII H dengan jumlah siswa 28 orang, terdiri dari siswa laki-laki 13 orang dan siswa perempuan 15 orang. Kegiatan belajar mengajar ini dilaksanakan pada semester dua tahun pelajaran 2010/2011.


B.. Perencanaan Kegiatan Belajar Mengajar
         Pada tahap ini penulis mengadakan perencanaan untuk merancang prosedur belajar mengajar yaitu menyusun rancangan pelaksanaan pembelajaran. Rancangan pelaksanaan pembelajaran ini meliputi :
a.       menyusun silabus
b.      menyusun RPP
c.       menyusun LKS.

C. Pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar
            Pada tahap pelaksanaan pembelajaran yang dilaksanakan di kelas VII H SMP Negeri 2 Mataram dilaksanakan dalam dua kali pertemuan ( 5 x 40 menit). Pertemuan pertama (3 x 40 menit)  dan pertemuan kedua ( 2 x 40 menit).  Setelah dilaksanakan tindakan diperoleh data sebagai berikut:
1.      Perencanaan
Pada tahap persiapan dan perencanaan dalam penelitian ini dilakukan kegiatan sebagai berikut.
1.      mempelajari kurikulum
2.      mempelajari kompetensi dasar dan silabus Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Kelas VII SMP Semester 1.
3.      menentukan tema atau pokok bahasan Mata Pelajaran Bahasa Indonesia yang dapat diajarkan dalam penelitian dikaitkan dengan teknik yang digunakan.
4.      membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dengan menggunakan teknik.
5.      menyiapkan media pendukung dalam proses pembelajaran.
6.      menyiapkan lembar kegiatan siswa.
7.      menyusun lembar observasi pelaksanaan pembelajaran (tindakan guru) untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan teknik Jigsaw dapat dilaksanakan.
8.      merumuskan indikator kemampuan berbicara siswa (lembar observasi siswa) untuk mengetahui tingkat perkembangan berbicara siswa pada setiap siklus kegiatan.
9.      menugaskan siswa untuk mempelajari materi yang akan dibahas pada pelaksanaan tindakan keesokan harinya.
2.      Pelaksanaan Tindakan dan Observasi
               Tindakan dilaksanakan dengan langkah-langkah berikut.
1.      Tahap Pendahuluan
a.       guru membuka pembelajaran dengan salam dan sapa.
b.      guru menilai kehadiran siswa (absensi).
c.       guru menyampaikan topik atau tema yang akan dibahas.
d.      guru menyampaikan garis-garis besar tentang materi yang diawali dengan memancing keaktifan siswa dengan tanya jawab sebagai brainstorming (pemanasan). Hal ini dimaksudkan untuk mengaktifkan skemata siswa agar lebih siap menghadapi bahan pelajaran yang baru.
e.       guru menyampaikan fungsi dan tujuan pembelajaran
f.       guru menyampaikan ilustrasi singkat mengenai proses pembelajaran, dalam hal ini teknik yang digunakan adalah teknik Jigsaw.
2.      Tahap Kegiatan Inti
a.       guru membagi siswa menjadi 8 kelompok dalam komposisi heterogen dengan jumlah anggota 4 siswa tiap kelompok. Tiap kelompok menentukan nama kelompok masing-masing, ketua kelompok dan notulen.
b.      guru membagi lembar kerja siswa (LKS) yang telah dipilah menjadi empat bagian. LKS disertai alat dan bahan untuk menghias tugas.
c.       guru membagikan bagian pertama bahan kepada siswa yang pertama, bagian kedua dibagikan pada siswa yang kedua, demikian seterusnya sehingga semua siswa mendapatkan bahan yang berbeda dalam kelompok. Setiap anggota bertanggung jawab untuk mempelajari bagian tertentu bahan yang diberikan.
d.      guru meminta tiap anggota dari masing-masing kelompok yang mendapat tugas bahan yang sama berkumpul dan berdiskusi tentang topik tersebut. Kelompok inilah yang disebut kelompok ahli. Dengan demikian, terdapat kelompok ahli dengan nama berdasarkan bahan yang diperoleh.
e.       guru mengawasi pelaksanaan diskusi anggota tim ahli dan melaksanakan observasi.
f.       guru meminta anggota tim ahli kembali ke kelompok asal dan mentransfer informasi yang telah dipelajari dan didiskusikan di dalam kelompok ahli untuk diajarkan kepada teman sekelompoknya.
g.      guru mengawasi pelaksanaan diskusi kelompok asal dan melakukan observasi.
h.      guru memastikan tiap kelompok mengerjakan LKS sesuai petunjuk.
i.        guru meminta kepada kelompok yang mampu menyelesaikan tugas paling cepat untuk berteriak hore.......!
j.        guru memberikan reward berupa lima buah bintang bagi kelompok yang paling cepat menyelesaikan, empat buah bintang untuk kelompok yang menyelesaikan pada urutan kedua, dan seterusnya.
k.      guru mengumpulkan hasil diskusi kelompok asal yang telah disusun dan dihias berdasarkan kreativitas siswa .
l.        guru memberikan stimulan keaktifan kepada siswa dengan permainan atau kuis berdasarkan materi yang telah diberikan. Hal ini dimaksudkan untuk menghidupkan suasana, menumbuhkan keceriaan siswa dalam belajar, dan mempertahankan semangat siswa di akhir-akhir pembelajaran.
m.    guru memberikan reward atau penghargaan pada kelompok terahli dan siswa yang mempu menjawab kuis sebagai motivasi terhadap siswa lain.
3.      Tahap Penutup
a.       guru bersama siswa melakukan evaluasi dan refleksi terhadap kegiatan pembelajaran.
b.      guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan manfaat yang diperoleh dari kegiatan pembelajaran.
c.       guru menyempurnakan pemahaman siswa dengan memberikan kesimpulan.
4.      Evaluasi dan Refleksi
Kegiatan evaluasi dan refleksi dilaksanakan secara rutin setiap kali berlangsungnya pelaksanaan tindakan berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti terhadap siswa dalam kegiatan pembelajaran.

C.     INDIKATOR KINERJA
         Indikator keberhasilan adalah pencapaian tingkat kecakapan berbicara atau berkomunikasi dengan ketentuan sebagai berikut.
         Keberhasilan ini didasarkan pada hasil observasi terhadap aktivitas siswa dalam pembelajaran di kelas dengan teknik Jigsaw. Siswa dikatakan mencapai hasil maksimal, apabila telah mencapai ketuntasan belajar ≥75%, dengan pencapaian nilai ≥  66 pada setiap siswa. 
         Dengan demikian, penerapan teknik Jigsaw dikatakan berhasil dalam meningkatkan kemampuan berbicara siswa apabila setelah pelaksanaan pembelajaran dengan teknik ini setiap siswa mencapai nilai ketuntasan ≥ 66 dengan ketuntasan belajar seluruh siswa mencapai minimal 75%.

3.5  Data, Sumber Data, dan Instrumen Pembelajaan
Adapun instrumen yang digunakan adalah.
1.      lembar observasi persiapan dan perencanaan pelaksanaan pembelajaran dengan teknik Jigsaw.
2.      lembar observasi pelaksanaan pembelajaran dengan teknik Jigsaw.
3.      perilaku siswa dalam pembelajaran dengan teknik Jigsaw.
4.      lembar Observasi Kemampuan Berbicara dan Sikap Ilmiah Siswa
5.      lembar Kerja Siswa.
6.      kuesioner Penggunaan teknik Jigsaw dalam pembelajaran.

D. PEDOMAN PENILAIAN
     Berikut disajikan pedoman penilaian produk masing-masing tahap pembelajaran Penghitungan skor dalam analisis data sesuai dengan tabel skor berikut.
Tabel 3.2: Tabel Skor Kemampuan Berbicara Siswa
No
Aspek yang dinilai
Skor
1).
Standar Kecakapan Berbicara


1.   Penyajian Bahan Pembicaraan
20

a. Penguasaan isi pembicaraan
(1-5)

b.Organisasi isi pembicaraan
(1-5)

c. Kejelasan dan ketepatan pilihan kata dan struktur
(1-5)

d.            Kelancaran berbicara
(1-5)

2.   Gaya Berbicara
20

a. Kemampuan menarik perhatian
(1-5)

b.Pandangan mata
(1-5)

c. Kinesik atau mimik penyampaian
(1-5)

d.         Intonasi
(1-5)

3.   Tertib Berbicara
10

a. Cara berpakaian
(1-5)

b.Posisi atau sikap berbicara
(1-5)
Skor Maksimal
50
2).
Sikap Ilmiah Siswa


1.   Keaktifan
(1-5)

2.   Kesopanan
(1-5)

3.   Keseriusan
(1-5)

4.   Kerja sama
(1-5)

5.   Tanggung jawab
(1-5)
Skor Maksimal
25
     
      Berdasarkan tabel penskoran di atas, dua aspek penilaian dalam proses pembelajaran dengan teknik Jigsaw dengan  penjabaran skor dan indikator penilaian sebagai berikut.
1.      Skor maksimal pada aspek kemampuan berbicara adalah 50 yang dibagi menjadi tiga aspek berikut.
a.       Aspek penyajian memiliki skor maksimal 20 dengan rincian penskoran per poin sebagai berikut.
1.      Penguasaan isi pembicaraan memiliki skor maksimal 5 dan skor minimal 1 dengan indikator penskoran:
   Skor 4-5:   jika siswa mampu menemukan dan menjelaskan 3 hal istimewa dalam bahan bacaan disertai alasan yang logis.
Skor 2-3:   jika siswa mampu menemukan dan menjelaskan 2 hal istimewa dalam bahan bacaan disertai alasan yang logis.
Skor 0-1:   jika siswa mampu menemukan dan menjelaskan 1 hal istimewa dalam bahan bacaan disertai alasan yang logis.
2.      Organisasi isi pembicaraan memiliki skor maksimal 5 dan skor minimal 1 dengan indikator penskoran:
Skor 4-5:   jika siswa mampu bebicara secara sistematis mulai dari pendahuluan, inti, dan penutup.
Skor 2-3:   jika siswa menyampaikan pembicaraan dengan kurang sistematis dari pendahuluan, inti, dan penutup.
Skor 0-1:   jika siswa tidak mampu bebicara secara sistematis mulai dari pendahuluan, inti, dan penutup.

3.      Kejelasan dan ketepatan pilihan kata dan struktur memiliki skor maksimal 5 dan skor minimal 1 dengan indikator penskoran:
Skor 4-5:   jika siswa berbicara dengan diksi dan struktur kalimat yang tepat.
Skor 2-3:   jika siswa berbicara dengan diksi dan struktur kalimat yang  kurang tepat.
Skor 0-1:   jika siswa berbicara dengan diksi dan struktur kalimat yang tidak tepat.
4.      Kelancaran berbicara memiliki skor maksimal 5 dan skor minimal 1 dengan indikator penskoran:
Skor 4-5:   jika siswa mampu berbicara dengan lancar.
Skor 2-3:   jika siswa kurang lancar dalam berbicara.
Skor 1-2:   jika siswa tidak lancar dalam berbicara.
b.      Aspek gaya berbicara memiliki skor maksimal 20 dengan rincian penskoran per poin sebagai berikut.
1.      Kemampuan menarik perhatian memiliki skor maksimal 5 dan skor minimal 1 dengan indikator penskoran:
Skor 4-5:   jika siswa diperhatikan oleh seluruh atau hampir seluruh lawan bicara.
Skor 2-3:   jika siswa kurang diperhatikan oleh lawan bicara.
Skor 0-1:   jika siswa tidak diperhatikan oleh lawan bicara.

2.      Pandangan mata memiliki skor maksimal 5 dan skor minimal 1 dengan indikator penskoran:
Skor 4-5:   jika siswa mengarahkan pandangan ke seluruh arah lawan bicara.
Skor 2-3:   jika siswa mengarahkan pandangan ke satu arah saja.
Skor 0-1:   jika siswa tiidak mengarahkan pandangan arah lawan bicara.
3.      Kinesik atau mimik penyampaian memiliki skor maksimal 5 dan skor minimal 1 dengan indikator penskoran:
Skor 4-5:   jika siswa berbicara disertai mimik yang sesuai dengan isi pembicaraan.
Skor 2-3:   jika siswa berbicara disertai mimik yang kurang sesuai dengan isi pembicaraan.
Skor 0-1:   jika siswa berbicara tidak disertai mimik.
4.      Intonasi memiliki skor maksimal 5 dan skor minimal 1 dengan indikator penskoran:
Skor 4-5:   jika siswa berbicara dengan intonasi (nada naik turun, panjang-pendek, dan jeda) yang tepat.
Skor 2-3:   jika siswa berbicara dengan intonasi (nada naik turun, panjang-pendek, dan jeda) yang kurang tepat.
Skor 0-1:   jika siswa berbicara dengan intonasi (nada naik turun, panjang-pendek, dan jeda) yang tidak tepat.
c.       Aspek tertib berbicara memiliki skor maksimal 10 dengan rincian penskoran per poin sebagai berikut.
1.      Cara berpakaian memiliki skor maksimal 5 dan skor minimal 1 dengan indikator penskoran:
Skor 4-5:   jika siswa berpakaian rapi dan sopan.
Skor 2-3:   jika siswa berpakaian kurang rapi dan kurang sopan.
Skor 0-1:   jika siswa berpakaian tidak rapi dan tidak sopan.
2.      Posisi berbicara atau sikap badan memiliki skor maksimal 5 dan skor minimal 1 dengan indikator penskoran:
Skor 4-5:   jika siswa berbicara dengan sikap badan yang tenang, tegak dan menghadap ke arah lawan bicara.
Skor 2-3:   jika siswa berbicara dengan sikap badan yang kurang tenang, kurang tegak dan tidak menghadap ke arah lawan bicara.
Skor 0-1:   jika siswa berbicara dengan sikap badan yang tidak tenang, menunduk dan tidak menghadap ke arah lawan bicara.
2.      Aspek sikap ilmiah siswa dengan skor maksimal 25 dan tiap-tiap poin memiliki skor maksimal 5 skor minimal 1 dengan rincian penskoran per poin sebagai berikut.
1.      Keaktifan memiliki skor maksimal 5 dan skor minimal 1 dengan indikator penskoran:
Skor 4-5:   jika siswa menanggapi, mengapresiasi, serta bertanya saat pelaksanaan diskusi.
Skor 2-3:   jika siswa kurang dalam menanggapi, mengapresiasi, dan bertanya saat diskusi.
Skor 0-1:   jika siswa tidak menanggapi, tidak mengapresiasi, dan tidak bertanya saat diskusi.
2.      Kesopanan memiliki skor maksimal 5 dan skor minimal 1 dengan indikator penskoran:
Skor 4-5:   jika siswa tertib dan tenang selama proses pembelajaran dan diskusi.
Skor 2-3:   jika siswa kurang tertib dan tenang selama proses pembelajaran dan diskusi.
Skor 0-1:   jika siswa tidak tertib dan tenang selama proses pembelajaran dan diskusi.
3.      Keseriusan memiliki skor maksimal 5 dan skor minimal 1 dengan indikator penskoran:
Skor 4-5:   jika siswa serius ketika berkomunikasi dan bekerja sama dalam pembelajaran.
Skor 2-3:   jika siswa kurang kurang serius ketika berkomunikasi dan bekerja sama dalam pembelajaran.
Skor 0-1:   jika siswa tidak serius ketika berkomunikasi dan bekerja sama dalam pembelajaran.
4.      Kerja sama memiliki skor maksimal 5 dan skor minimal 1 dengan indikator penskoran:
Skor 4-5:   jika siswa mampu berkomunikasi dan menerima pendapat siswa lain.
Skor 2-3:   jika siswa kurang berkomunikasi dan kurang menghargai pendapat siswa lain.
Skor 0-1:   jika siswa tidak mampu berkomunikasi dan tidak menghargai pendapat orang lain.
5.      Tanggung jawab memiliki skor maksimal 5 dan skor minimal 1 dengan indikator penskoran:
Skor 4-5:   jika siswa mampu menyelesaikan tugas secara maksimal dengan kriteria berikut: lengkap, rapi, dan kreatif.
Skor 2-3:   jika siswa kurang maksimal dalam menyelesaikan tugas, yaitu hanya memenuhi dua kriteria di antara lengkap, rapi, dan kreatif.
Skor 0-1:   jika siswa tidak maksimal dalam menyelesaikan tugas, yaitu hanya memenuhi satu kriteria di antara lengkap, rapi, atau kreatif.
Penghitungan Nilai Akhir Kemampuan Berbicara dalam skala 1-100:
Nilai Akhir   =            Perolehan Skor                 x Skor Ideal   (100) =…...
                                   Skor Maksimal (50)
(BSNP:Panduan Penyusunan KTSP Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, 2006)

Standar pencapaian kemampuan berbicara dalam penelitian ini adalah:
81– 100           :Sangat Baik
66 – 80            :Baik
56 – 65            :Cukup Baik
46 – 55            :Kurang Baik
  0 – 45            :Tidak Baik

Standar pencapaian skor sikap ilmiah siswa:
21 – 25            :Sangat Baik (A)
16 – 20            :Baik (B)
11 – 15            :Cukup Baik (C)
  5 – 10            :Kurang Baik (D)
  0 – 5              :Tidak  Baik (E)
                             
Untuk menghitung nilai rata-rata siswa, maka rumus yang digunakan adalah:
Keterangan:
                     =  Nilai rata-rata siswa
          =  Jumlah nilai siswa secara keseluruhan
n                      =  Jumlah siswa
(Metode Penelitian Pendidikan dalam Khairawati, 2007:41).
Indikator keberhasilan penelitian ini adalah tercapainya ketuntasan belajar dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan:     KB      :Ketuntasan Belajar
P          :Banyaknya siswa yang mempeoleh nilai ≥ 65
                        N         :Banyaknya siswa
                        (Nurkancana dalam Evi Wardiani, 2004:24).
               Ketuntasan belajar tercapai jika KB ≥ 75% siswa mencapai ≥ 66 dengan kriteria baik.


E.     HASIL UJI COBA
Berdasarkan uji coba yang dilaksanakan, beberapa fakta ditemukan seperti berikut ini. Dengan perencanaan pelaksanaan KTSP yang lebih terarah dan sistematis, maka hasil pelaksanaan akan terlihat pada keteraturan perangkat kerja, rencana dan pelaksanaan pembelajaran, dan khususnya pada hasil belajar siswa.
Peningkatan kemampuan berbicara siswa dengan  teknik Jigsaw dari siklus I ke siklus II yaitu. Hal ini ditunjukkan adanya peningkatan nilai rata-rata dari 63,63 pada siklus I menjadi 80,06 pada siklus II dan pencapaian ketuntasan belajar 100% pada siklus II dari kondisi tidak tuntas pada siklus I karena ketuntasan hanya mencapai 65,63%. Peningkatan ini  terjadi karena peningkatan prosentase jumlah siswa yang  memperoleh nilai lebih tinggi pada siklus II dari siklus I yaitu peningkatan nilai 30 siswa hingga mencapai 93,75% dan tersisa 2 siswa yang memperoleh nilai tetap dengan prosentase 6,25%. Selain peningkatan kemampuan berbicara, sikap ilmiah siswa juga mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II yaitu. Hal ini ditunjukkan adanya peningkatan nilai dengan dominasi nilai cukup baik (C) pada siklus I menjadi dominasi nilai baik (B) pada siklus II. Bahkan beberapa siswa menunjukkan perkembangan yang signifikan dari cukup baik (C) dan baik (B) pada siklus I menjadi sangat baik (A) pada siklus II. Prosentase peningkatan dari siklus I ke siklus II mencapai 96,88% dengan prosentase nilai tetap 3,12%.

Peningkatan yang ditunjukkan di atas, tidak berarti menunjukkan tidak adanya kendala. Penerapan KTSP membutuhkan cukup keterampilan dan ketelatenan, terutama berkaitan dengan perangkat kerja pembelajaran. Tuntutan bagi guru adalah berupaya lebih untuk mengembangkan KTSP dari berbagai aspek yang ada di dalamnya.



BAB VI
KESIMPULAN

            Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SMP Negeri 2 Mataram adalah kurikulum operasional yang disusun dengan melibatkan berbagai pihak antara lain Kepala Sekolah, Dewan Guru, Komite Sekolah, Dinas Pendidikan dan unsur masyarakat, yang dijadikan sebagai acuan bagi Kepala Sekolah, guru dan orangtua siswa dalam meningkatkan mutu pendidikan. Uji coba KTSP yang diterapkan di SMP Negeri 2 Mataram menunjukkan hasil yang signifikan baik dari aspek kinerja guru maupun hasil belajar siswa. Hal ini tidak terlepas dari adanya kerjasama tim kurikulum dengan guru mata pelajaran dalam pengembangan dan realisasi kurikulum di SMP Negeri 2 Mataram. Sebagai bahan perbaikan maka saran berikut patut untuk dipertimbangkan.
1.      Pihak Dinas DIKPORA kota Mataram dan instansi terkait diharapkan dapat memberikan dukungan dan pengawasan keterlaksanaan kurikulum di SMP Negeri 2 Mataram.
2.      Semua guru mempunyai tanggungjawab untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran sesuai dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi.
3.      Orang tua memberikan dukungan dan bimbingan dalam belajar anaknya selama berada di rumah.
  


                                           DAFTAR PUSTAKA

BSNP. 2006. ”Panduan Penyusunan Kurikulum Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah”. Jakarta: BSNP.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1975. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
__________. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka.
__________. 1997. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Dan Sastra Indonesia Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiah. Jakarta.
__________. 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi Bahasa Indonesia. Buku 2. Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan  Menengah. Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama. Jakarta.
__________. 2004. Pengembangan Materi Media Pembelajaran Bahasa Indonesia. INA-17. Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah. Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama. Jakarta.
__________2009. Buku Saku Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Sekolah Menengah Pertama. Direktorat Jendral ManajemenPendidikan Dasar dan Menengah.Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama.
DePorter, Bobbi, dkk. 2003. Quantum Teaching. Bandung: Kaifa.
Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Harsiati, Titik. 2003. ”Penilaian Otentik dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia”. Malang: Universitas Negeri Malang.
Hatikah, Tika. 2007. Membina Kompetens Berbahasa dan Bersastra Indonesia untuk Kelas XI SMA. Bandung: Grafindo Media Pratama.
Humpre, Sandra McLeod Humpre. 2007. Berani Bermimpi;25 kisah hebat. Jakarta: Penerbit Banana.
Ibrahim, Muslimin, dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press.
Lie, Anita. 2004. Cooperative Learning. Jakarta: Grasindo.
Muslich,Masnur. 2009.KTSP Dasar Pemahaman dan Pengembangan. Malang: Bumi Aksara.
___________2009. Pedoman Praktis Bagi Guru Profesional Melaksanakan PTK (Penelitian Tindakan Kelas) Itu Mudah Classroom Action Research .  Jakarta: Bumi Aksara.
Nurhadi, dkk. 2007. Bahasa Indonesia untuk SMP Kelas VII Jilid I. Jakarta: Erlangga.
Suprijono,Agus. 2009. Cooperative Learning TEORI & APLIKASI PAIKEM. Surabaya: Pustaka Pelajar.
Suyatno. 2004. Teknik Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: Penerbit SIC.
Suyatno. 2008. “Membunuh Ketakutan Guru dengan Keberanian Berinovasi”. http://garduguru.blogspot.com/2008/03/beda-quantum-teaching-dan-quantum.html [17 April 2008].
Tarigan, Henry Guntur. 1981. Berbicara sebagai Suatu Keterampilan Khusus. Bandung: Angkasa.
Tim Pengembang Kurikulum. 2006. “Silabus Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMP/MTs Kelas VII”. Malang: VEDC.
Tim Penyusun KTSP. 2007. “Panduan Lengkap KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)”. Jogjakarta: Tim Pustaka Yustisia.
Wahono dan Rusmiyanto. 2007. Kreativitas Berbahasa dan Bersastra Indonesia SMP Kelas VII. Jakarta: Ganesa