Minggu, 25 Desember 2011

ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA PENDEKATAN KONTEKSTUAL DENGAN PENDEKATAN GAGNE BERDASARKAN ASPEK KEEFEKTIFAN DALAM PEMBELAJARAN SASTRA


 
       I.      PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH SECARA IDEAL
                            Sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan diri tentang masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta (Semi dalam Anwar Balfas, 2008:3). Sastra adalah pengungkapan masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa. Sastrawan dapat dikatakan sebagai ahli ilmu jiwa dan filsafat yang mengungkapkan masalah hidup, kejiwaan, dan filsafat, bukan dengan cara teknik melisankan melaui tulisan satra. Perbedaan sastrawan dengan orang lain terletak pada kepekaan sastrawan yang dapat menembus kebenaran hakiki manusia yang tidak dapat diketahui orang lain.
Sastra selain sebuah karya seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi, juga sebagai karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual dan emosional. Sastra yang telah dilahirkan oleh sastrawan diharapkan dapat memberi kepuasan estetik dan intelektual bagi pembaca (Semi dalam Balfas, 2008:3)
Mengacu pada pengertian sastra di atas, sudah sewajarnya bila tujuan pembelajaran sastra juga untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada siswa. Sastra dapat memengaruhi daya emosi, imajinasi, kreativitas, dan intelektual siswa sehingga berkembang secara maksimal.
       Pembelajaran sastra di sekolah perlu dilakukan karena akan memberikan sumbangsi untuk perkembangan sastra itu sendiri melalui peningkatkan berbagai keterampilan siswa. Maman S. Mahayana (2007) mengemukakan bahwa pembelajaran sastra di sekolah akan menjadi wadah bagi siswa dalam (a) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, dan (b) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Hadirnya sastra sebagai materi ajar dan bahan bacaan di sekolah adalah awal yang baik untuk apresiasi sastra bagi siswa sebelum terlibat sebagai penggubah karya sastra di masa mendatang. Dengan sastra pula, siswa mampu meningkatkan pengetahuan dan belajar tentang kehidupan. Hal ini berkaitan dengan pendapat Gove (dalam Aminuddin, 2004:34) yang mengemukakan bahwa pengenalan yang melibatkan perasaan dan kepekaan batin disertai pemahaman dan pengakuan akan keindahan termasuk bentuk apresiasi.
      Selain tujuan di atas, pembelajaran sastra juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh pengalaman dan pengetahuan sastra (Mahmudi Effendi, 2005:6). Dalam pembelajaran sastra, guru akan, menyediakan kesempatan agar murid mengalami kegiatan membaca atau mendengarkan hasil sastra yang termasuk dalam fungsi apresiasi sastra dan siswa akan mengalami kegiatan menulis karangan yang termasuk dalam fungsi ekspresi sastra.
      Uraian di atas adalah gambaran ideal yang diharapkan dalam pembelajaran sastra di sekolah. Berbagai upaya telah dilakukan dan akan terus berlanjut, salah satunya dalam pembenahan kurikulum sehingga tujuan pembelajaran sastra dapat tercapai secara maksimal.

    II.      REALITAS PEMBELAJARAN DI SEKOLAH
Jika merujuk pada tujuan yang hendak dicapai pada tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mulai diberlakukan tahuan ajaran 2006—2007 berdasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 dan 23/2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah  dan tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, maka sesungguhnya KTSP memberi peluang yang lebih leluasa bagi guru dan pihak sekolah untuk mengembangkan diri dan meningkatkan kompetensinya.
Kaitannya dengan pembelajaran sastra di sekolah adalah hal ini memberikan peluang agar guru lebih kreatif dalam pembelajaran sastra. Terlebih lagi berbagai metode pembelajaran yang menarik sudah dapat ditransfer dari berbagai sumber baik media cetak maupun elektronik. Namun, sangat disayangkan karena pembelajaran sastra justru semakin terasa hanya dipandang oleh segelintir siswa sebagai hal yang menyenangkan, cukup dibaca dan dipelajari saja. Hal ini berdampak pada semakin jauhnya siswa dari proses kreatif (mencipta karya). Padahal, jika disadari pembelajaran sastra sangat menyenangkan untuk dibahas.
Balfas (2008) menjelaskan hal senada berkaitan dengan realitas pembelajaran sastra di atas dengan kesimpulan dari berbagai sumber sebagai berikut.
“Beberapa keluhan dalam pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal jika mau dipetakan berkisar pada hal-hal berikut.
Pertama, pengetahuan dan kemampuan dasar dalam bidang kesastraan para guru sangat terbatas (Alpansyah, 2005; Wahyudi, 2007). Materi kesastraan yang mereka peroleh selama mengikuti pendidikan formal di perguruan tinggi (PT) sangat terbatas. Materi kuliah kesastraan yang mereka peroleh lebih bersifat teoretis, sedangkan yang mereka butuhkan di lapangan lebih bersifat praktis. Kedua, buku dan bacaan penunjang pembelajaran sastra di sekolah, khususnya di SLTP dan SMU juga terbatas (Rosidi 1997:19-25). Lain halnya, keterbatasan buku penunjang ini sedikit terjadi di SD karena hampir semua SD, di daerah perkotaan khususnya, setiap tahun menerima kiriman buku bacaan dari Proyek Perbukuan Nasional Depdikbud. Hanya saja, pemanfaatan buku bacaan tersebut tampaknya belum maksimal karena ada faktor lain yang berkaitan dengan ini, yaitu faktor minat siswa atau subjek didik. Minat belajar dan minat membaca para siswa masih sangat rendah. Faktor ketersediaan waktu, manajemen perpustakaan sekolah, dan dorongan dari guru menjadi ikut menjadi penyebab dalam hal ini. Berbagai kendala di atas menyebabkan pembelajaran sastra di berbagai jenjang pendidikan formal hingga saat ini belum mencapai sasaran sebagaimana yang diharapkan. Tujuan akhir pembelajaran sastra, penumbuhan dan peningkatan apresiasi sastra pada subjek didik belum menggembirakan.”
Dalam pembelajaran sastra, banyak pakar mengeluhkan kelemahan pembelajaran sastra di sekolah, diantaranya adalah materi pembelajaran sastra lebih menekankan hapalan istilah, pengertian sastra, sejarah sastra daripada pengakraban diri dengan karya sastra. Ada kemungkinan guru juga kurang menguasai dunia sastra dan pembelajarannya sehingga mereka tidak mampu mengajarkan. Setiap ada kompetensi yang berkaitan dengan sastra yang seharusnya dikembangkan dari diri siswa, kompetensi ini dilalui begitu saja dan tidak diajarkan. Alat evaluasi untuk pembelajaran sastra juga kurang menantang dan kurang komprehensif. Pembelajaran sastra selama ini masih terasa sulit dan menakutkan bagi siswa. Sudah saatnya pembelajaran sastra jadi pembelajaran yang nyaman, menantang, dan menyenangkan. Kondisi pembelajaran sastra yang kurang mengakrabkan siswa pada karya sastra membuat siswa menjadi rabun novel, rabun cerpen, rabun drama, dan rabun puisi.
Kondisi ini diperparah oleh minimnya kemampuan guru dalam mengajar sastra. Pembelajarn sastra tidak terbatas pada penjelasan teori saja yang seringkali disampaikan dengan pendekatan dan metode konvensional. Hal yang lebih penting adalah proses kreatif dan kemampuan siswa dalam mengekspresikan dalam bentuk produk dan gerak. Dalam hal ini, peran guru dituntut untuk mencari dan menerapkan pendekatan dan metode yang tepat dalam pembelajaran sastra.
 III.      PENDEKATAN DAN METODE PEMBELAJARAN SASTRA
Berdasarkan uraian di atas, saatnya guru menyadari bahwa dewasa ini, tuntutan dalam dunia pendidikan sudah banyak berubah. Kita tidak dapat lagi mempertahankan paradigma lama. Teori, peneliti, dan praktisi pendidikan membuktikan bahwa guru perlu menyusun dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar berdasarkan berbagai pertimbangan. Anita Lie (2004:5) mengemukakan bahwa pokok pemikiran yang harus dimiliki seorang guru saat ini antara lain.
1.      Pengetahuan itu ditemukan, dibentuk, dan dikembangkan oleh siswa. Guru hanya menciptakan kondisi dan situasi yang memungkinkan siswa membentuk makna dan bahan-bahan pelajaran melalui proses belajar dan menyimpannya untuk dikembangkan lebih lanjut (Piaget, 1952 &1960; Freire,1970).
2.      Siswa membangun pengetahuan secara aktif bukan dibangun oleh guru (Anderson dan Armbruster, 1982; Piaget, 1952 &1962).
3.      Pengajar perlu berusaha mengembangkan kompetensi dan kemampuan siswa dengan menekankan proses daripada hasil (Maslow, 1962; Rogers, 1982).
4.       Pendidikan adalah interaksi pribadi di antara para siswa dan interaksi antara guru dan siswa (Johnson, Johnson dan Smith, 1991).

Berdasarkan pokok pemikiran di atas, Lie menawarkan salah satu model pembelajaran yang dikenal dengan Cooperative Learning yang terbagi menjadi 14 teknik. Model ini menekankan pembelajaran berbasis kerjasama antarsiswa yang menyenangkan dan efektif (Ibrahim, dkk, 2000:9).
Selain pendekatan dan metode pembelajaran di atas, masih banyak pendekatan dan metode yang dapat membantu guru dalam menciptakan pembelajaran sastra yang menarik seperti pendekatan dan metode berbasis kontekstual, pendekatan dan metode Gagne, pendekatan dan metode ATM (Amati, Tiru, dan Modifikasi), dan sebagainya.
Banyaknya pendekatan dan metode yang ditawarkan  dalam pembelajaran sastra di sekolah menuntut guru untuk cerdas memilah yang memungkinkan dan efektif diterapkan di kelas. Tentu hal ini harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi siswa dan lingkungan belajar.
Berdasarkan permasalahan di atas, tulisan ini akan menyajikan salah satu analisis komparatif mengenai dua bentuk pendekatan pembelajaran dalam aspek keefektifannya ketika diterapkan dalam pembelajaran sastra di kelas. Pendekatan yang akan dibandingkan yaitu Pendekatan Berbasis Kontekstual dengan Pendekatan Gagne.

 IV.      PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH DENGAN PENDEKATAN BERBASIS KONTEKSTUAL
Menurut Johnson, pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) bertujuan membekali siswa dengan pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan atau ditransfer dari suatu permasalahan ke permasalahan yang lain dan dari satu konteks personal, sosial, atu budaya ke konteks lainnya (Balfas, 2008). Pembelajaran kontekstual menyandarkan pada memori spasial. Pemilihan informasi didasarkan kepada kebutuhan individu siswa. Pembelajaran kontekstual juga selalu mengaitkan dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa. Dalam pelaksanaannya, pembelajaran ini menerapkan penilaian autentik.
Kontekstual merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang mengakui dan menunjukkan kondisi alamiah dari pengetahuan. Pendekatan ini memberikan pengalaman yang lebih relevan dan berarti bagi siswa dalam membangun pengetahuan yang akan diterapkannya seumur hidup melalui hubungan di dalam dan di luar kelas (Depdiknas dalam Balfas, 2002:3). Pembelajaran ini berusaha menyajikan suatu konsep yang dikaitkannya dengan konsep materi tersebut digunakan, sehingga pengalaman belajarnya lebih realistis dan biasanya akan berdaya tahan lama.
Menurut Johnson (dalam Balfas, 2002:3), komponen pembelajaran kontekstual ada delapan, yaitu (10) membuat hubungan bermakna, (2) melakukan pekerjan yang signifikan, (3) belajar menyesuaikan diri, (4) berkolaborasi, (5) berpikir kritis dan kreatif, (6) pengalaman individual, (7) pencapaian standar yang tinggi, dan (8) menggunakan penilaian autentik. Sementara itu, dalam dokumen Depdiknas (dalam Balfas, 2008:3) dinyatakan bahwa pembelajaran kontekstual menekankan hal-hal berikut: (1) belajar berbasis masalah (problem-based learning), (2) pengajaran autentik (authentic instruction), (3) belajar berbasis inkuiri (inquiry-based learning), (4) belajar berbasis proyek (project-based learning), (5) belajar berbasis kerja (work-based learning), (6) belajar layanan (service learning), dan (7) belajar kooperatif (coperative learning).
Pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa mengaitkan pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga dan masyarakat. Melalui pendekatan kontekstual, hasil pembelajaran lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran bersifat alami, karena siswa bekerja dan mengalami, bukan sekadar mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil (Nurhadi, 2003:1).
Lima bentuk belajar dalam metode kontekstual adalah bentuk belajar sebagai berikut.
1.      Relating adalah bentuk belajar dalam konteks kehidupan nyata.
2.      Experiencing adalah belajar dalam konteks kegiatan eksplorasi, penemuan, dan penciptaan.
3.      Applying adalah belajar dalam bentuk penerapan pengalaman hasil belajar ke dalam penggunaan dan kebutuhan praktis.
4.      Cooperating adalah belajar dalam bentuk berbagi informasi dan pengalaman, saling merespon, dan saling berkomunikasi.
5.      Transfering adalah kegiatan belajar dalam bentuk memanfaatkan pengetahuan dan pengalamannya berdasarkan konteks baru untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman belajar yang baru (Suparno dalam Balfas, 2008:4).
Pembelajaran kontekstual menyandarkan pada memori spasial. pemilihan informasi didasarkan kepada kebutuhan individu siswa. Adanya kecenderungan mengintegrasikan beberapa bidang (disiplin). Pembelajaran kontekstual juga selalu mengaitkan dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa. Dalam pelaksanaannya, pembelajaran ini menerapkan penilaian autentik. Perbedaan dengan pembelajaran yang konvensional dapat dicermati pada uraian berikut:

a. Pembelajaran konvensional
1) Menyandarkan kepada hafalan
2) Pemilihan informasi ditentukan oleh guru
3) Cenderung berfokus pada guru
4) Cenderung berfokus pada satu bidang (disiplin tertentu)
5) Memberikan tumnpukan informasi kepada siswa pada saat diperlukan
                 6) Penilaian hasil belajar hanya melalui kegiatan akademik berupa ujian dan ulangan

b. Pembelajaran Kontekstual
1) Menyandarkan pada memori spasial
2) Pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan individu siswa
3) Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang (disiplin)
4) Selalu mengaitkan informasi pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa
5) Menerapkan penilaian otentik melalui penerapan praktis dalam pemecahan masalah. (Balfas, 2008:5)

    V.      PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH DENGAN PENDEKATAN GAGNE                      Yuli Kwartolo (2009) dalam tulisannya mengemukakan bahwa dalam buku yang berjudul ”The Conditions of Learning” (1965), Gagne mengidentifikasikan mengenai kondisi mental seseorang agar siap untuk belajar. Ia mengemukakan apa  yang dinamakan dengan ”nine events of instruction” atau sembilan langkah atau peristiwa belajar. Sembilan langkah atau peristiwa ini merupakan tahapan-tahapan yang berurutan di dalam sebuah proses pembelajaran. Tujuannya adalah memberikan kondisi yang sedemikian rupa sehingga proses pembelajaran dapat berjalan secara efektif dan efisien. Agar kesembilan langkah atau peristiwa itu berarti dan memberi makna yang dalam bagi siswa, maka guru harus melakukan apa yang memang harus dilakukan. Dengan kata lain menyediakan suatu pengalaman belajar atau  apapun namanya agar kondisi mental siswa itu terus terjaga untuk kepentingan proses pembelajaran. Apa yang dikemukan oleh Gagne itu akan berarti jika guru mampu menyediakan sesuatu (materi, sumber belajar, pengalaman belajar, aktivitas, dll.) yang memang dibutuhkan.
            Tabel berikut ini memperjelas bagaimana kesembilan peristiwa belajar dan      pembelajaran itu menjadi berarti karena proses mental yang seharusnya ada pada         diri siswa telah difasilitasi oleh guru dengan langkah atau tindakan kongkrit.

LANGKAH PEMBELAJARAN

PROSES MENTAL SISWA
TINDAKAN GURU
1. Menarik perhatian
siswa

- Merangsang daya
penerimaan siswa.
- Menciptakan
curiosity siswa

- Menciptakan efek-efek
suara tertentu
- Mengajukan
pertanyaan yang
menantang
2. Menyampaikan
kepada siswa
tentang tujuan
pembelajaran

- Membuat/
menentukan tingkat
harapan yang akan
dicapai selama
belajar
- Menguraikan tujuan
pada awal pelajaran,
secara lisan maupun
tertulis

3. Menstimulir/atau
memanggil terlebih
dahulu informasi
atau pengetahuan
yang sudah
diperoleh sebelum
proses pengajaran

- Mendapatkan
kembali atau dan
menggiatkan shortterm
memory siswa

- Bertanya, berdiskusi,
melihat gambar/video,
mendengarkan cerita
sesuai topik yang
dipelajari

4. Menyajikan isi
pembelajaran

- Siswa secara selektif
menanggapi isi
pelajaran
- Menyampaikan materi
pembelajaran dengan menggunakan berbagai
metode, pendekatan,
strategi, dan alat bantu
pelajaran
5. Menyediakan
pedoman atau
petunjuk belajar


- Siswa menulis
berbagai hal untuk
disimpan pada
memori supaya
bertahan lama
- Menyediakan
pedoman petunjuk
belajar yang praktis

6. Memberi
kesempatan
untuk latihan/unjuk
performance
- Merespons
pertanyaan, tugas,
latihan, dll.

- Memberi pertanyaan,
tugas, latihan yang
harus dilaksanakan

7. Memberi umpan
balik

- Mengetahui tingkat
penguasaan
materi dan tingkat
kebenaran tugas
yang dikerjakan
- Memberi penguatan/
Memuji
8. Melakukan
penilaian

- Mendapatkan/
mempertegas
kembali isi pelajaran
sebagai bahan
evaluasi akhir
- Melakukan penilaian

9. Mengekalkan dan
mengembangkan
pengetahuan dan
kemahiran siswa

- Berlatih,
mempraktikkan
apa yang telah
diperolehnya
(kognitif, afektif,
psikomotorik) dalam
situasi yang baru

- Menyediakan
kesempatan yang
luas bagi siswa
untuk memanfaatkan
berbagai pengetahuan,
sikap, dan keterampilan
tersebut dalam
situasi yang berbeda
(praktikum, unjuk kerja,project, simulasi, dll)
NGKAH
PEMBELAJARAN
PROSES MENTAL
Jika diperhatikan secara mendalam, tabel di atas yang mencoba memperjelas penerapan model “nine events of instruction” yang dikemukakan oleh Gagne sudah mengimplementasikan teori pembelajaran yang bersifat perspektif dan teori belajar yang bersifat deskriptif.  Dan yang paling esensial dari pendekatan ini adalah, bahwa di dalam proses pembelajaran guru harus paham benar seperti apa proses mental yang ada dalam diri siswa. Ketika guru menyadari akan hal itu, maka dengan mudah guru dapat memfasilitasi berbagai pengalaman belajar seperti apa yang cocok agar proses mental siswa tersebut terus berkembang.

 VI.      PERBANDINGAN PENDEKATAN BERBASIS KONTEKSTUAL DENGAN  PENDEKATAN GAGNE DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH
Berdasarkan pemaparan kedua jenis pendekatan di atas maka perbandingan keduanya dapat dilihat pada beberapa aspek, selain perbedaan tahapan-tahapan seperti yang dipaparkan di atas, dua hal penting yang menjadi pembeda keduanya adalah  hal yang menjadi dasar pendekatannya terhadap siswa dalam belajar dan keefektifan dalam merealisasikannya dalam pembelajaran sastra di kelas. Lebih jelasnya, akan diuraikan sebagai berikut.
a.       Perbandingan berdasarkan aspek dasar pendekatan terhadap siswa
               Pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang lebih menekankan kaitan materi yang diajarkan dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa mengaitkan pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga dan masyarakat. Pendekatan ini membuat hasil pembelajaran lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran bersifat alami, karena siswa bekerja dan mengalami, bukan sekadar mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa.                  Sedangkan pendekatan Gagne lebih menekankan bahwa di dalam proses pembelajaran guru harus paham benar seperti apa proses mental yang ada dalam diri siswa. Ketika guru menyadari akan hal itu, maka dengan mudah guru dapat memfasilitasi berbagai pengalaman belajar seperti apa yang cocok agar proses mental siswa tersebut terus berkembang.
b.      Perbandingan berdasarkan aspek keefektifan dalam realisasi di kelas
               Berdasarkan perbedaan pada poin (a), pendekatan kontekstual yang menekankan pembelajaran terhadap kemampuan siswa berdasarkan kenyataan yang ada di sekitar mereka akan memudahkan siswa menerima dan mengerjakan latihan tanpa harus menganalisis kesiapan mental mereka, karena apa yang akan mereka proses dalam pembelajaran sastra merupakan pengalaman yang telah mereka lihat dan rasakan. Hal ini akan lebih efektif dan mendukung kelancaran pembelajaran karena tidak memerlukan pengkodisian mental yang cukup lama dan bertahap seperti pada pendekatan yang ditawarkan Gagne. Mencipta sastra tidak hanya berkaitan dengan pengkodisian mental siswa, jauh lebih penting dari itu adalah kemampuan siswa dalam mengapresiasi dan berekspresi dalam berbagai bentuk karya karena karya sastra itu sendiri lahir atas dukungan perasaan, pikiran, dan pengalaman pengarang. Karya sastra itu sebagai ekspresi perasaan, pikiran, dan pengalaman pengarang (Pradopo, 2008:162)

VII.      KESIMPULAN
            Berdasarkan hasil analisis perbandingan di atas, dapat disimpulkan pendekatan kontekstual akan lebih efektif untuk diterapkan dalam pembelajaran sastra dibandingkan menggunakan pendekatan Gagne.







DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Balfas, Anwar. 2008. Mengembangkan Kemampuan Literasi dan Berfikir Kritis Siswa       Melalui Pembelajaran Sastra Berbasis Konteks. Linguistika Vol. 15, No. 29,            September 2008. 3_anwar_balfasi_pdf [7 November 2010].
Efendi, Mahmudi. 2005. Diktat:Metode Pengajaran Sastra. Mataram:FKIP Universitas     Mataram.
Ibrahim, Muslimin, dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Universitas Negeri     Surabaya.
Junus, Umar. 1988.Teori Sastra dan Fenomena Sastra. Bandung: Angkasa.
Kwartolo, Yuli. 2009. Sembilan Peristiwa Belajar Gagne (Sebuah Pendekatan       Pembelajaran. Penabur Jakarta No. 25 Maret-April 2009. 09_0.pdf [7 November     2010] .
Lie, Anita. 2004. Cooperative Learning. Jakarta:Grasindo.
Mahayana, Maman S. 2007. Apresiasi Sastra Indonesia di Sekolah.             http://johnherf.wordpress.com/2007/02/07/bahasa-dan-sastra-indonesia-di- sekola[7 November 2010].
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Press.
Nurhadi. 2003. Pendekatan Kontekstual. Malang: Universitas Negeri Malang.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2008. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan            Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
LANGKAH
PEMBELAJARAN
PROSES MENTAL
SISWA
YANG DILAKUKAN
GURUTahun. Judul. Nama jurnal volume (nomor):halaman. ketersediaan(tanggal akses)