Minggu, 25 Desember 2011

SERBA-SERBI FILSAFAT


1.      SEBAB MANUSIA BERFILSAFAT

Menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia kagum atas apa yang dilihatnya, manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari keterbatasannya.Namun, sudah sejak awal sejarah ternyata sikap iman penuh taqwa manusia tidak menahan manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu.  Proses mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pengetahuan.  Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis,  sistematis dan  koheren, dan cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang (1) disusun metodis, sistematis dan koheren (“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang (2) dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut (Suriasumantri, 1996).

Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan (realitas).

Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan (realitas). Filsafat merupakan refleksi rasional (fikir) atas keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat (= kebenaran) dan memperoleh hikmat (= kebijaksanaan)(Suriasumantri, 1996).

Al-Kindi (801 - 873 M) : "Kegiatan manusia yang tertinggi adalah filsafat yang merupakan pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia. Bagian filsafat yang paling mulia adalah filsafat pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala kebenaran"(Suriasumantri, 1996).

Unsur "rasional" (penggunaan akal budi) dalam kegiatan ini merupakan syarat mutlak, dalam upaya untuk mempelajari dan mengungkapkan "secara mendasar" pengembaraan manusia di dunianya menuju akhirat.  Disebut "secara mendasar" karena upaya itu dimaksudkan menuju kepada rumusan dari sebab-musabab pertama, atau sebab-musabab terakhir, atau bahkan sebab-musabab terdalam dari obyek yang dipelajari  ("obyek material"), yaitu "manusia di dunia dalam mengembara menuju akhirat". Itulah scientia rerum per causas ultimas -- pengetahuan mengenai hal ikhwal berdasarkan sebab-musabab yang paling dalam.

Karl Popper (1902-?) menulis "semua orang adalah filsuf, karena semua mempunyai salah satu sikap terhadap hidup dan kematian.  Ada yang berpendapat bahwa hidup itu tanpa harga, karena hidup itu akan berakhir.  Mereka tidak menyadari bahwa argumen yang terbalik juga dapat dikemukakan, yaitu bahwa kalau hidup tidak akan berakhir, maka hidup adalah tanpa harga; bahwa bahaya yang selalu  hadir yang membuat kita dapat kehilangan hidup sekurang-kurangnya ikut menolong kita untuk menyadari nilai dari hidup".  Mengingat berfilsafat adalah berfikir tentang hidup, dan "berfikir" = "to think" (Inggris) = "denken" (Jerman), maka - menurut Heidegger (1889-1976), dalam "berfikir" sebenarnya kita "berterimakasih" = "to thank" (Inggris) = "danken" (Jerman) kepada Sang Pemberi hidup atas segala anugerah kehidupan yang diberikan kepada kita.

Menarik juga untuk dicatat bahwa kata "hikmat" bahasa Inggerisnya adalah "wisdom", dengan akar kata "wise" atau "wissen" (bahasa Jerman) yang artinya mengetahui. Dalam bahasa Norwegia itulah "viten", yang memiliki akar sama dengan kata bahasa Sansekerta "vidya" yang diindonesiakan menjadi "widya". Kata itu dekat dengan kata "widi" dalam "Hyang Widi" =  Tuhan.  Kata "vidya" pun dekat dengan kata Yunani "idea", yang dilontarkan pertama kali oleh Socrates/Plato dan digali terus-menerus oleh para filsuf sepanjang segala abad.

Menurut Aristoteles (384-322 sM), pemikiran kita melewati 3 jenis abstraksi (abstrahere  = menjauhkan diri dari, mengambil dari).  Tiap jenis abstraksi melahirkan satu jenis ilmu pengetahuan dalam bangunan pengetahuan yang pada waktu itu disebut filsafat:

Abstraksi pertama - fisika.  Kita mulai berfikir kalau kita mengamati.  Dalam berfikir, akal dan budi kita “melepaskan diri” dari pengamatan inderawi segi-segi tertentu, yaitu “materi yang dapat dirasakan” (“hyle aistete”). Dari hal-hal yang partikular dan nyata, ditarik daripadanya hal-hal yang bersifat umum: itulah proses abstraksi dari ciri-ciri individual. Akal budi manusia, bersama materi yang “abstrak” itu, menghasilan ilmu pengetahuan yang disebut “fisika” (“physos” = alam).

Abstraksi kedua - matesis. Dalam proses abstraksi selanjutnya, kita dapat melepaskan diri dari materi yang kelihatan.  Itu terjadi kalau akal budi melepaskan dari materi hanya segi yang dapat dimengerti (“hyle noete”). Ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh jenis abstraksi dari semua ciri material ini disebut “matesis” (“matematika” – mathesis = pengetahuan, ilmu).

Abstraksi ketiga - teologi atau “filsafat pertama”.  Kita dapat meng-"abstrahere" dari semua materi dan berfikir tentang seluruh kenyataan, tentang asal dan tujuannya, tentang asas pembentukannya, dsb.  Aras fisika dan aras matematika jelas telah kita tinggalkan.  Pemikiran pada aras ini menghasilkan ilmu pengetahuan yang oleh Aristoteles disebut teologi atau “filsafat pertama”.  Akan tetapi  karena ilmu pengetahuan ini “datang sesudah” fisika, maka dalam tradisi selanjutnya disebut metafisika.

Secara singkat, filsafat mencakup “segalanya”. Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan; disebut “sebelum” karena semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian dari filsafat dan disebut “sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi pertanyaan tentang batas-batas dari kekhususannya.

Dalam konteks yang lebih luas, Suharsaputra menyatakan bahwa perintah Iqra (bacalah) yang tertuang dalam Al Qur’an dapat dipahami dalam kaitan dengan dorongan Tuhan pada Manusia untuk berpengetahuan disamping kata Yatafakkarun (berfikirlah/gunakan akal) yang banyak tersebar dalam Al Qur’an. Semua ini dimaksudkan agar manusia dapat berubah dari tidak tahu menjadi tahu, dengan tahu dia berbuat, dengan berbuat dia beramal bagi kehidupan. semua ini pendasarannya adalah penggunaan akal melalui kegiatan berfikir. Dengan berfikir manusia mampu mengolah pengetahuan, dengan pengolahan tersebut, pemikiran manusia menjadi makin mendalam dan makin bermakna, dengan pengetahuan manusia mengajarkan, dengan berpikir manusia mengembangkan, dan dengan mengamalkan serta mengaplikasikannya manusia mampu melakukan perubahan dan peningkatan ke arah kehidupan yang lebih baik, semua itu telah membawa kemajuan yang besar dalam berbagai bidang kehidupan manusia (sudut pandang positif/normatif). Dengan demikian kemampuan untuk berubah dan perubahan yang terjadi pada manusia merupakan makna pokok yang terkandung dalam kegiatan Berfikir dan berpengetahuan. Disebabkan kemampuan Berfikirlah, maka manusia dapat berkembang lebih jauh dibanding makhluk lainnya, sehingga dapat terbebas dari kemandegan fungsi kekhalifahan di muka bumi, bahkan dengan Berfikir manusia mampu mengeksplorasi, memilih dan menetapkan keputusan-keputusan penting untuk kehidupannya. Pernyataan di atas pada dasarnya menggambarkan keagungan manusia berkaitan dengan karakteristik eksistensial manusia sebagai upaya memaknai kehidupannya dan sebagai bagian dari Alam ini.

2.      FILSAFAT SEBAGAI GRAND THEORY
Filsafat disebut grand theory ilmu pengetahuan di dunia karena filsafatlah yang menjadi ‘induk atau payung’ ilmu pengetahuan di dunia. Seperti yang diketahui, filsafat mencakup “segalanya”. Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan; disebut “sebelum” karena semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian dari filsafat dan disebut “sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi pertanyaan tentang batas-batas dari kekhususannya (Ammar, dkk, 2007: 3).
Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal.  Obyek material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan, yaitu gejala "manusia di dunia yang mengembara menuju akhirat".  Dalam gejala ini jelas ada tiga hal menonjol, yaitu manusia, dunia, dan akhirat.  Maka ada filsafat tentang manusia (antropologi), filsafat tentang alam (kosmologi), dan filsafat tentang akhirat (teologi - filsafat ketuhanan; kata "akhirat" dalam konteks hidup beriman dapat dengan mudah diganti dengan kata Tuhan).  Antropologi, kosmologi dan teologi, sekalipun kelihatan terpisah, saling berkaitan juga, sebab pembicaraan tentang yang satu pastilah tidak dapat dilepaskan dari yang lain.  Juga pembicaraan filsafat tentang akhirat atau Tuhan hanya sejauh yang dikenal manusia dalam dunianya.

Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat.

Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya.  Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi  (merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.

Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. "Segala manusia ingin mengetahui", itu kalimat pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala "manusia tahu".  Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat menggali "kebenaran" (versus "kepalsuan"), "kepastian" (versus "ketidakpastian"), "obyektivitas" (versus "subyektivitas"), "abstraksi", "intuisi", dari mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan.   Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama) menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan.  Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap gejala pengetahuan dicermati dengan teliti.  Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.

Pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan pengetahuan, batas-batas pengetahuan, asal dan jenis-jenis pengetahuan dibahas dalam epistemologi. Logika ("logikos") "berhubungan dengan pengetahuan", "berhubungan dengan bahasa".  Disini bahasa dimengerti sebagai cara bagaimana pengetahuan itu dikomunikasikan dan dinyatakan. Maka logika merupakan cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan cara berfikir serta aturan-aturan yang harus dihormati supaya pernyataan-pernyataan sah adanya.

Ada banyak ilmu, ada pohon ilmu-ilmu, yaitu tentang bagaimana ilmu yang satu berkait dengan ilmu lain. Disebut pohon karena dimengerti pastilah ada akar dari semua ilmu. Dan akar itu tidak lain adalah filsafat.





3.      FILSAFAT ILMU, FILSAFAT BAHASA, DAN FILSAFAT PENDIDIKAN
a.      Filsafat ilmu
Arti filsafat ilmu menurut The Liang Gie adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Sedangkan menurut Cornilius Binjamin filsafat ilmu adalah merupakan cabang pengetahuan filsafati yang menelaah sistimatis mengenai sifat dasar ilmu, metode-metodenya, dan peranggapan-peranggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual. Untuk lebih jelasnya, kita beri contoh, dalam kehidupan sehari-hari kita sudah terbiasa memanfaatkan benda-benda disekeliling kita, untuk itu wajar kalau kita mengenalnya dengan baik. Mulai dari perabotan rumah tangga, alat sekolah, flora dan fauna dan lain sebagainya . Pernahkah kita memikirkan bagaimana kita tiba-tiba memberi sebutan sesuatu dengan istilah tertentu? Bagaimana sebenarnya proses perkenalan kita dengan benda yang kita beri sebutan tertentu itu? Demikianlah, dengan adanya filsafat ilmu kita akan mengetahui atau minimal kita akan dilatih untuk berfikir tentang suatu ilmu itu diperoleh.

b.      Filsafat Bahasa
Sebelum mengkaji bahasan mengenai bahasa sebagai ilmu, ada baiknya kita telaah beberapa pandangan mengenai bahasa itu sendiri. Berbagai sumber menyatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi, dan dapat diartikan sebagai alat untuk mengkaji ilmu lain. Bahkan lebih mendalam lagi bahasa diartikan sebagai alat untuk membongkar seluruh rahasia simbol-simbol (Hidayat, 2009:31). Seorang linguis bernama Ronald Wardhaugh memberikan definisi bahwa bahasa ialah suatu sistem simbol-simbol bunyi yang arbitrer yang digunakan untuk komunikasi manusia (a system of arbitrary vocal symbols used for human communication).

Berdasarkan definisi di atas, dapat dikatakan bahwa di balik simbol-simbol yang ada di sekitar kita ada makna yang perlu dicari dan dibuktikan. Kegiatan ini memerlukan bahasa sebagai alat untuk mengkajinya sebagaimana yang kita ketahui bahwa usaha mencari hakikat kebenaran (berfilsafat) senantiasa beriringan dengan bahasa. Selain melihat bahasa sebagai alat, disadari bahwa bahasa itu sendiri adalah salah satu objek berupa simbol yang perlu dikaji. Dengan kata lain, bahasa merupakan salah satu kajian yang juga membutuhkan jawaban filsafat. Jika bahasa membutuhkan jawaban filsafat, maka permasalahan-permasalahan bahasa perlu dikaji secara kritis dan bertanggung jawab (Franz Magnis-Suseno dalam Hidayat, 2009:36). Problematika kebahasaan dapat dipecahkan dengan adanya usaha-usaha pemikiran yang mendalam dan sistematis atau analisis filsafat. Pemikiran-pemikiran tersebut akan membawa kita menemukan cara (metode) yang tepat untuk menemukan jawaban atau kebenaran atas problematika bahasa yang ada.

Salah satu teori yang menjelaskan tentang perkembangan bahasa sebagai ilmu dikemukakan oleh Mahsun  dalam buku yang berjudul Genolinguistik. Mahsun (2010:24) mengungkapkan bahwa menguak sejarah pertumbuhan linguistic sebagai ilmu pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari sejarah kajian linguistik yang dicapai bangsa Yunani kuno. Secara singkat dapat dikatakan bahwa sebelum berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu, bahasa merupakan bagian dari kajian filsafat. Setelah pengkajian kosa kata (glosari) pada naskah kuno dimulai, hal tersebut menjadi cikal bakal ilmu linguistik.

Bahasa sebagai ilmu juga dapat dibuktikan dengan lahirnya banyak teori mengenai bahasa dan teori-teori tersebut sudah dapat dipastikan muncul setelah melalui kegiatan berpikir yang cukup mendalam. Bahkan seiring perkembangan zaman, teori-teori akan bermunculan karena bahasa sebagai ilmu semakin luas cakupan bahasannya.

c.       Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan adalah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai keakar-akarnya mengenai pendidikan. Hubungan antara filsafat dan pendidikan terkait dengan persoalan logika, yaitu: logika formal yang dibangun atas prinsif koherensi, dan logika dialektis dibangun atas prinsip menerima dan membolehkan kontradiksi. Hubungan interakif antara filsafat dan pendidikan berlangsung dalam lingkaran kultural dan pada akhirnya menghasilkan apa yang disebut dengan filsafat pendidikan.
Beberapa penjelasan diberikan disini khusus mengenai filsafat tentang pengetahuan.  Dipertanyakan: Apa itu pengetahuan? Dari mana asalnya? Dan berbagai pertanyaan lainnya. Pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan pengetahuan, batas-batas pengetahuan, asal dan jenis-jenis pengetahuan dibahas dalam epistemologi. Logika ("logikos") "berhubungan dengan pengetahuan", "berhubungan dengan bahasa".  Disini bahasa dimengerti sebagai cara bagaimana pengetahuan itu dikomunikasikan dan dinyatakan. Maka logika merupakan cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan cara berfikir serta aturan-aturan yang harus dihormati supaya pernyataan-pernyataan sah adanya.

Berdasarkan penjelasan di atas, jika dikaitkan dengan pendidikan ilmu bahasa maka perlu dipahami bahwa sebagai dasar berpikir dan bertindak ilmiah dibutuhkan cara berpikir filsafat. Jika kemampuan berpikir kritis dan sistematis telah menjadi kebiasaan maka hal tersebut menjadi bekal dalam mengkaji ilmu, khususnya ilmu bahasa. Sebagai pelaku pendidikan bahasa, selain memerlukan sikap kritis dan sistematis terhadap ilmu bahasanya sebagai objek, perlu dipahami juga bahwa bahasa adalah alat untuk mengkaji ilmu itu sendiri, terutama dalam mendidik. Hal ini juga menjadi bahan yang mengarahkan pendidik agar lebih memperdalam kajian bahasa dan tidak ‘sekedar’ mengajar.

4.      FILSAFAT “TELUR ATAU AYAM” DAN “BIJI ATAU POHON”
Menurut Plato, sebelum ayam dan telur ada “ide” ayam dan telur. Ayam mesti duluan ada dari telur, karena dalam ide ayam terkandung ide telur. Sedang dalam ide telur, tidak serta-merta ide ayam mengikuti, bisa jadi telur yang dimaksud adalah telur bebek. Sedangkan menurut Aristoteles, ayam adalah sebab dari telur, dan karenanya ayam lebih dulu dari telur. Sebab mesti lebih utama dari akibat. Ayam mampu melindungi dan mencukupi dirinya sendiri. Sementara telur butuh induk ayam untuk mengeraminya. Mustahil telur lebih dulu dari ayam, sebaimana mustahil akibat mendahului sebab.
Walaupun jawaban dari Plato dan Aristoteles sudah cukup meyakinkan, referensi lain yang dapat mendukung hal tersebut adalah sebagai berikut.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”(Q.S.2:64)
Penjelasan disebarkannya hewan di bumi merupakan salah satu indikasi bahwa hewanlah yang muncul pertama, termasuk ayam, bukan telur.

Sama halnya dengan pertanyaan di atas, biji atau pohon yang terlebih dahulu ada, maka jawabannya adalah biji. Hal ini didasarkan pada pandangan Aristoteles  bahwa kenyataan dunia berada di dalam materi, bahan yang membentuk dunia(Smith and Raeper, 2000:20). Ia memandang masalah perubahan dalam Physica dengan pengumpamaan pada pohon Eik. Salah satu dasar yang menguatkan pendapat bahwa bijilah yang ada terlebih dahulu adalah sebagai berikut.
Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. demikian ialah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling?”(Q.S. 6:95)

5.      PILIHAN MENJADI ORANG BERILMU, BERPENGETAHUAN, ATAU FILSUF
Jika diminta memilih maka saya akan memilih menjadi seorang filsuf karena dari sudut pandang filsafat, aktivitas berpikir tertinggi manusia adalah berfilsafat. Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. "Segala manusia ingin mengetahui", itu kalimat pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala "manusia tahu".  Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat menggali "kebenaran" (versus "kepalsuan"), "kepastian" (versus "ketidakpastian"), "obyektivitas" (versus "subyektivitas"), "abstraksi", "intuisi", dari mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan.   Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama) menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan.  Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap gejala pengetahuan dicermati dengan teliti.  Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan. Hal ini berarti ilmu itu adalah bagian pengetahuan yang telah memenuhi syarat sistematis, metodologis, kritis, dan berobjek. Sedangkan filsafat mecoba merenungkan segala yang terlihat maupun yang belum terlihat.





DAFTAR PUSTAKA

Djojosuroto, Kinayati. 2007. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Pustaka.
Drijarkara, N. 2007. Filsafat Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
Hidayat, Asep Ahmad. 2009. Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda. Bandung: Rosda.
Mahsun. 2010. Genolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan bercorak Indonesia, Jakarta:PT. Rineka Cipta.
Poedjawijatna. 2005. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta.
Purwanto, Ngalim. M. 2003. Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sholihin, Muhammad., 2007. Perkembangan Pemikiran Filsafat Klasik hingga Modern. Bandung; CV. Pustaka Setia.
Smith, Linda dan Raeper. 2000. Ide-Ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang. Yogyakarta:Kanisius.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Suriasumantri, S. Jujun. 1996. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tafsir, Ahmad., 2005. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung; PT Remaja Rosdakarya.
Tafsir, Ahmad. 2009. Filsafat Ilmu:Mengurai Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Wiramihardja, Sutardjo A. 2006. Pengantar Filsafat. Bandung: PT Refika Aditama.
Kumpulan Resume Filsafat ‘What is Science