1.
SEBAB MANUSIA BERFILSAFAT
Menghadapi
seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia kagum atas apa yang dilihatnya,
manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai
menyadari keterbatasannya.Namun, sudah sejak awal sejarah ternyata sikap iman
penuh taqwa manusia tidak menahan manusia menggunakan akal budi dan fikirannya
untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas)
itu. Proses mencari tahu itu menghasilkan
kesadaran, yang disebut pengetahuan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri
metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat
dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan adalah
pengetahuan yang (1) disusun metodis, sistematis dan koheren (“bertalian”)
tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang (2)
dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang
(pengetahuan) tersebut (Suriasumantri, 1996).
Makin
ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan
(realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh
kenyataan (realitas).
Filsafat adalah pengetahuan
metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan (realitas). Filsafat merupakan refleksi rasional (fikir) atas
keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat
(= kebenaran) dan memperoleh hikmat
(= kebijaksanaan)(Suriasumantri, 1996).
Al-Kindi
(801 - 873 M) : "Kegiatan manusia yang tertinggi adalah filsafat yang
merupakan pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin
bagi manusia. Bagian filsafat yang paling mulia adalah filsafat pertama, yaitu
pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala
kebenaran"(Suriasumantri, 1996).
Unsur
"rasional" (penggunaan akal budi) dalam kegiatan ini merupakan syarat
mutlak, dalam upaya untuk mempelajari dan mengungkapkan "secara
mendasar" pengembaraan manusia di dunianya menuju akhirat. Disebut "secara mendasar" karena
upaya itu dimaksudkan menuju kepada rumusan dari sebab-musabab pertama, atau
sebab-musabab terakhir, atau bahkan sebab-musabab terdalam dari obyek yang
dipelajari ("obyek material"),
yaitu "manusia di dunia dalam mengembara menuju akhirat". Itulah scientia rerum per causas ultimas --
pengetahuan mengenai hal ikhwal berdasarkan sebab-musabab yang paling dalam.
Karl
Popper (1902-?) menulis "semua orang adalah filsuf, karena semua mempunyai
salah satu sikap terhadap hidup dan kematian.
Ada yang berpendapat bahwa hidup itu tanpa harga, karena hidup itu akan
berakhir. Mereka tidak menyadari bahwa
argumen yang terbalik juga dapat dikemukakan, yaitu bahwa kalau hidup tidak
akan berakhir, maka hidup adalah tanpa harga; bahwa bahaya yang selalu hadir yang membuat kita dapat kehilangan
hidup sekurang-kurangnya ikut menolong kita untuk menyadari nilai dari
hidup". Mengingat berfilsafat
adalah berfikir tentang hidup, dan "berfikir" = "to think"
(Inggris) = "denken" (Jerman), maka - menurut Heidegger (1889-1976),
dalam "berfikir" sebenarnya kita "berterimakasih" =
"to thank" (Inggris) = "danken" (Jerman) kepada Sang
Pemberi hidup atas segala anugerah kehidupan yang diberikan kepada kita.
Menarik
juga untuk dicatat bahwa kata "hikmat" bahasa Inggerisnya adalah
"wisdom", dengan akar kata "wise" atau "wissen" (bahasa
Jerman) yang artinya mengetahui. Dalam bahasa Norwegia itulah
"viten", yang memiliki akar sama dengan kata bahasa Sansekerta
"vidya" yang diindonesiakan menjadi "widya". Kata itu dekat
dengan kata "widi" dalam "Hyang Widi" = Tuhan.
Kata "vidya" pun dekat dengan kata Yunani "idea",
yang dilontarkan pertama kali oleh Socrates/Plato dan digali terus-menerus oleh
para filsuf sepanjang segala abad.
Menurut
Aristoteles (384-322 sM), pemikiran kita melewati 3 jenis abstraksi (abstrahere = menjauhkan diri dari, mengambil dari). Tiap jenis abstraksi melahirkan satu jenis
ilmu pengetahuan dalam bangunan pengetahuan yang pada waktu itu disebut
filsafat:
Abstraksi pertama - fisika. Kita mulai berfikir kalau kita
mengamati. Dalam berfikir, akal dan budi
kita “melepaskan diri” dari pengamatan inderawi segi-segi tertentu, yaitu
“materi yang dapat dirasakan” (“hyle aistete”). Dari hal-hal yang partikular
dan nyata, ditarik daripadanya hal-hal yang bersifat umum: itulah proses abstraksi dari ciri-ciri individual.
Akal budi manusia, bersama materi yang “abstrak” itu, menghasilan ilmu
pengetahuan yang disebut “fisika” (“physos” = alam).
Abstraksi kedua - matesis. Dalam proses abstraksi
selanjutnya, kita dapat melepaskan diri dari materi yang kelihatan. Itu terjadi kalau akal budi melepaskan dari
materi hanya segi yang dapat dimengerti (“hyle noete”). Ilmu pengetahuan yang
dihasilkan oleh jenis abstraksi dari
semua ciri material ini disebut “matesis” (“matematika” – mathesis =
pengetahuan, ilmu).
Abstraksi ketiga - teologi
atau “filsafat pertama”. Kita dapat
meng-"abstrahere" dari semua materi dan berfikir tentang seluruh
kenyataan, tentang asal dan tujuannya, tentang asas pembentukannya, dsb. Aras fisika dan aras matematika jelas telah
kita tinggalkan. Pemikiran pada aras ini
menghasilkan ilmu pengetahuan yang oleh Aristoteles disebut teologi atau
“filsafat pertama”. Akan tetapi karena ilmu pengetahuan ini “datang sesudah”
fisika, maka dalam tradisi selanjutnya disebut metafisika.
Secara
singkat, filsafat mencakup “segalanya”. Filsafat datang sebelum dan sesudah
ilmu pengetahuan; disebut “sebelum” karena semua ilmu pengetahuan khusus mulai
sebagai bagian dari filsafat dan disebut “sesudah” karena ilmu pengetahuan
khusus pasti menghadapi pertanyaan tentang batas-batas dari kekhususannya.
Dalam
konteks yang lebih luas, Suharsaputra menyatakan bahwa perintah Iqra (bacalah)
yang tertuang dalam Al Qur’an dapat dipahami dalam kaitan dengan dorongan Tuhan
pada Manusia untuk berpengetahuan disamping kata Yatafakkarun
(berfikirlah/gunakan akal) yang banyak tersebar dalam Al Qur’an. Semua ini
dimaksudkan agar manusia dapat berubah dari tidak tahu menjadi tahu, dengan
tahu dia berbuat, dengan berbuat dia beramal bagi kehidupan. semua ini
pendasarannya adalah penggunaan akal melalui kegiatan berfikir. Dengan berfikir
manusia mampu mengolah pengetahuan, dengan pengolahan tersebut, pemikiran
manusia menjadi makin mendalam dan makin bermakna, dengan pengetahuan manusia
mengajarkan, dengan berpikir manusia mengembangkan, dan dengan mengamalkan
serta mengaplikasikannya manusia mampu melakukan perubahan dan peningkatan ke
arah kehidupan yang lebih baik, semua itu telah membawa kemajuan yang besar
dalam berbagai bidang kehidupan manusia (sudut pandang positif/normatif).
Dengan demikian kemampuan untuk berubah dan perubahan yang terjadi pada manusia
merupakan makna pokok yang terkandung dalam kegiatan Berfikir dan
berpengetahuan. Disebabkan kemampuan Berfikirlah, maka manusia dapat berkembang
lebih jauh dibanding makhluk lainnya, sehingga dapat terbebas dari kemandegan
fungsi kekhalifahan di muka bumi, bahkan dengan Berfikir manusia mampu
mengeksplorasi, memilih dan menetapkan keputusan-keputusan penting untuk
kehidupannya. Pernyataan di atas pada dasarnya menggambarkan keagungan manusia
berkaitan dengan karakteristik eksistensial manusia sebagai upaya memaknai kehidupannya dan sebagai bagian dari
Alam ini.
2.
FILSAFAT
SEBAGAI GRAND THEORY
Filsafat
disebut grand theory ilmu pengetahuan
di dunia karena filsafatlah yang menjadi ‘induk atau payung’ ilmu pengetahuan
di dunia. Seperti yang diketahui, filsafat mencakup “segalanya”.
Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan; disebut “sebelum” karena
semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian dari filsafat dan disebut
“sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi pertanyaan tentang
batas-batas dari kekhususannya (Ammar, dkk, 2007: 3).
Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek
material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi)
pembicaraan, yaitu gejala "manusia di dunia yang mengembara menuju
akhirat". Dalam gejala ini jelas
ada tiga hal menonjol, yaitu manusia, dunia, dan akhirat. Maka ada filsafat tentang manusia
(antropologi), filsafat tentang alam (kosmologi), dan filsafat tentang akhirat
(teologi - filsafat ketuhanan; kata "akhirat" dalam konteks hidup
beriman dapat dengan mudah diganti dengan kata Tuhan). Antropologi, kosmologi dan teologi, sekalipun
kelihatan terpisah, saling berkaitan juga, sebab pembicaraan tentang yang satu
pastilah tidak dapat dilepaskan dari yang lain.
Juga pembicaraan filsafat tentang akhirat atau Tuhan hanya sejauh yang
dikenal manusia dalam dunianya.
Obyek formal
adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas
sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika
cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem
filsafat.
Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam
dunianya. Pengalaman manusia yang sungguh
kaya dengan segala sesuatu yang tersirat
ingin dinyatakan secara tersurat.
Dalam proses itu intuisi (merupakan hal yang ada dalam setiap
pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi,
sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.
Dalam filsafat, ada filsafat
pengetahuan. "Segala manusia ingin mengetahui", itu kalimat
pertama Aristoteles dalam Metaphysica.
Obyek materialnya adalah gejala "manusia tahu". Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala
itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat menggali
"kebenaran" (versus "kepalsuan"), "kepastian"
(versus "ketidakpastian"), "obyektivitas" (versus
"subyektivitas"), "abstraksi", "intuisi", dari
mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan. Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan
menjadi obyek material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan
menurut sebab-musabab pertama) menghasilkan filsafat
ilmu pengetahuan. Kekhususan gejala
ilmu pengetahuan terhadap gejala pengetahuan dicermati dengan teliti. Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau
metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.
Pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan pengetahuan,
batas-batas pengetahuan, asal dan jenis-jenis pengetahuan dibahas dalam
epistemologi. Logika ("logikos") "berhubungan dengan
pengetahuan", "berhubungan dengan bahasa". Disini bahasa dimengerti sebagai cara
bagaimana pengetahuan itu dikomunikasikan dan dinyatakan. Maka logika merupakan
cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan cara berfikir serta aturan-aturan
yang harus dihormati supaya pernyataan-pernyataan sah adanya.
Ada banyak ilmu, ada pohon ilmu-ilmu, yaitu tentang
bagaimana ilmu yang satu berkait dengan ilmu lain. Disebut pohon karena
dimengerti pastilah ada akar dari semua ilmu. Dan akar itu tidak lain adalah filsafat.
3.
FILSAFAT
ILMU, FILSAFAT BAHASA, DAN FILSAFAT PENDIDIKAN
a.
Filsafat
ilmu
Arti filsafat ilmu menurut The Liang
Gie adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai
segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala
segi dari kehidupan manusia. Sedangkan menurut Cornilius Binjamin filsafat ilmu
adalah merupakan cabang pengetahuan filsafati yang menelaah sistimatis mengenai
sifat dasar ilmu, metode-metodenya, dan peranggapan-peranggapannya, serta letaknya
dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual. Untuk lebih jelasnya,
kita beri contoh, dalam kehidupan sehari-hari kita sudah terbiasa memanfaatkan
benda-benda disekeliling kita, untuk itu wajar kalau kita mengenalnya dengan
baik. Mulai dari perabotan rumah tangga, alat sekolah, flora dan fauna dan lain
sebagainya . Pernahkah kita memikirkan bagaimana kita tiba-tiba memberi sebutan
sesuatu dengan istilah tertentu? Bagaimana sebenarnya proses perkenalan kita
dengan benda yang kita beri sebutan tertentu itu? Demikianlah, dengan adanya
filsafat ilmu kita akan mengetahui atau minimal kita akan dilatih untuk
berfikir tentang suatu ilmu itu diperoleh.
b.
Filsafat
Bahasa
Sebelum
mengkaji bahasan mengenai bahasa sebagai ilmu, ada baiknya kita telaah beberapa
pandangan mengenai bahasa itu sendiri. Berbagai sumber menyatakan bahwa bahasa
adalah alat komunikasi, dan dapat diartikan sebagai alat untuk mengkaji ilmu
lain. Bahkan lebih mendalam lagi bahasa diartikan sebagai alat untuk membongkar
seluruh rahasia simbol-simbol (Hidayat, 2009:31). Seorang linguis bernama
Ronald Wardhaugh memberikan definisi bahwa bahasa ialah suatu sistem
simbol-simbol bunyi yang arbitrer yang digunakan untuk komunikasi manusia (a system of arbitrary vocal symbols used for
human communication).
Berdasarkan
definisi di atas, dapat dikatakan bahwa di balik simbol-simbol yang ada di
sekitar kita ada makna yang perlu dicari dan dibuktikan. Kegiatan ini
memerlukan bahasa sebagai alat untuk mengkajinya sebagaimana yang kita ketahui
bahwa usaha mencari hakikat kebenaran (berfilsafat) senantiasa beriringan
dengan bahasa. Selain melihat bahasa sebagai alat, disadari bahwa bahasa itu
sendiri adalah salah satu objek
berupa simbol yang perlu dikaji. Dengan kata lain, bahasa merupakan salah satu
kajian yang juga membutuhkan jawaban filsafat. Jika bahasa membutuhkan jawaban
filsafat, maka permasalahan-permasalahan bahasa perlu dikaji secara kritis dan
bertanggung jawab (Franz Magnis-Suseno dalam Hidayat, 2009:36). Problematika
kebahasaan dapat dipecahkan dengan adanya usaha-usaha pemikiran yang mendalam
dan sistematis atau analisis
filsafat. Pemikiran-pemikiran tersebut akan membawa kita menemukan cara (metode) yang tepat untuk menemukan
jawaban atau kebenaran atas problematika bahasa yang ada.
Salah
satu teori yang menjelaskan tentang perkembangan bahasa sebagai ilmu
dikemukakan oleh Mahsun dalam buku yang
berjudul Genolinguistik. Mahsun (2010:24) mengungkapkan bahwa menguak sejarah
pertumbuhan linguistic sebagai ilmu pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari
sejarah kajian linguistik yang dicapai bangsa Yunani kuno. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa sebelum berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu, bahasa merupakan
bagian dari kajian filsafat. Setelah pengkajian kosa kata (glosari) pada naskah
kuno dimulai, hal tersebut menjadi cikal bakal ilmu linguistik.
Bahasa
sebagai ilmu juga dapat dibuktikan dengan lahirnya banyak teori mengenai bahasa
dan teori-teori tersebut sudah dapat dipastikan muncul setelah melalui kegiatan
berpikir yang cukup mendalam. Bahkan seiring perkembangan zaman, teori-teori
akan bermunculan karena bahasa sebagai ilmu semakin luas cakupan bahasannya.
c.
Filsafat
Pendidikan
Filsafat
pendidikan adalah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai
keakar-akarnya mengenai pendidikan. Hubungan antara filsafat dan pendidikan terkait dengan
persoalan logika, yaitu: logika formal yang dibangun atas prinsif koherensi,
dan logika dialektis dibangun atas prinsip menerima dan membolehkan
kontradiksi. Hubungan interakif antara filsafat dan pendidikan berlangsung dalam lingkaran kultural dan
pada akhirnya menghasilkan apa yang disebut dengan filsafat pendidikan.
Beberapa
penjelasan diberikan disini khusus mengenai filsafat tentang pengetahuan. Dipertanyakan: Apa itu pengetahuan? Dari mana
asalnya? Dan berbagai pertanyaan lainnya. Pertanyaan tentang
kemungkinan-kemungkinan pengetahuan, batas-batas pengetahuan, asal dan
jenis-jenis pengetahuan dibahas dalam epistemologi. Logika
("logikos") "berhubungan dengan pengetahuan",
"berhubungan dengan bahasa".
Disini bahasa dimengerti sebagai cara bagaimana pengetahuan itu
dikomunikasikan dan dinyatakan. Maka logika merupakan cabang filsafat yang
menyelidiki kesehatan cara berfikir serta aturan-aturan yang harus dihormati
supaya pernyataan-pernyataan sah adanya.
Berdasarkan
penjelasan di atas, jika dikaitkan dengan pendidikan ilmu bahasa maka perlu
dipahami bahwa sebagai dasar berpikir dan bertindak ilmiah dibutuhkan cara
berpikir filsafat. Jika kemampuan berpikir kritis dan sistematis telah menjadi
kebiasaan maka hal tersebut menjadi bekal dalam mengkaji ilmu,
khususnya ilmu bahasa. Sebagai pelaku pendidikan bahasa, selain memerlukan
sikap kritis dan sistematis terhadap ilmu bahasanya sebagai objek, perlu
dipahami juga bahwa bahasa adalah alat untuk mengkaji ilmu itu sendiri,
terutama dalam mendidik. Hal ini juga menjadi bahan yang mengarahkan pendidik
agar lebih memperdalam kajian bahasa dan tidak ‘sekedar’ mengajar.
4.
FILSAFAT
“TELUR ATAU AYAM” DAN “BIJI ATAU POHON”
Menurut
Plato, sebelum ayam
dan telur ada “ide” ayam dan telur. Ayam mesti duluan ada dari
telur, karena dalam
ide ayam terkandung
ide telur. Sedang
dalam ide telur,
tidak serta-merta ide ayam
mengikuti, bisa jadi telur
yang dimaksud adalah telur
bebek. Sedangkan menurut
Aristoteles, ayam
adalah sebab dari telur,
dan karenanya ayam
lebih dulu dari telur.
Sebab mesti lebih utama dari akibat. Ayam mampu melindungi dan mencukupi dirinya sendiri. Sementara telur butuh induk ayam untuk mengeraminya.
Mustahil telur lebih
dulu dari ayam, sebaimana
mustahil akibat mendahului sebab.
Walaupun jawaban
dari Plato dan Aristoteles sudah cukup meyakinkan, referensi lain yang dapat
mendukung hal tersebut adalah sebagai berikut.
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera
yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah
mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan
pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh
(terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”(Q.S.2:64)
Penjelasan disebarkannya hewan di
bumi merupakan salah satu indikasi bahwa hewanlah yang muncul pertama, termasuk
ayam, bukan telur.
Sama halnya dengan pertanyaan di
atas, biji atau pohon yang terlebih dahulu ada, maka jawabannya adalah biji.
Hal ini didasarkan pada pandangan Aristoteles
bahwa kenyataan dunia berada di dalam materi, bahan yang membentuk dunia(Smith
and Raeper, 2000:20). Ia memandang masalah perubahan dalam Physica dengan pengumpamaan pada pohon Eik. Salah satu dasar yang menguatkan pendapat bahwa bijilah yang
ada terlebih dahulu adalah sebagai berikut.
“Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati
dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. demikian ialah Allah, maka
mengapa kamu masih berpaling?”(Q.S.
6:95)
5.
PILIHAN
MENJADI ORANG BERILMU, BERPENGETAHUAN, ATAU FILSUF
Jika
diminta memilih maka saya akan memilih menjadi seorang filsuf karena dari sudut
pandang filsafat, aktivitas berpikir tertinggi manusia adalah berfilsafat. Dalam
filsafat, ada filsafat pengetahuan.
"Segala manusia ingin mengetahui", itu kalimat pertama Aristoteles
dalam Metaphysica. Obyek materialnya
adalah gejala "manusia tahu".
Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab
pertamanya. Filsafat menggali "kebenaran" (versus
"kepalsuan"), "kepastian" (versus "ketidakpastian"),
"obyektivitas" (versus "subyektivitas"),
"abstraksi", "intuisi", dari mana asal pengetahuan dan
kemana arah pengetahuan. Pada
gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan
kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama)
menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan. Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap
gejala pengetahuan dicermati dengan teliti.
Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang terdapat dalam
ilmu-ilmu pengetahuan. Hal ini berarti ilmu itu adalah bagian pengetahuan yang
telah memenuhi syarat sistematis, metodologis, kritis, dan berobjek. Sedangkan
filsafat mecoba merenungkan segala yang terlihat maupun yang belum terlihat.
DAFTAR PUSTAKA
Djojosuroto, Kinayati. 2007. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Pustaka.
Drijarkara, N. 2007. Filsafat Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
Hidayat, Asep Ahmad. 2009. Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa,
Makna dan Tanda. Bandung: Rosda.
Mahsun. 2010. Genolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan Stimulus
Ilmu Pendidikan bercorak Indonesia, Jakarta:PT. Rineka Cipta.
Poedjawijatna. 2005. Pembimbing
ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta.
Purwanto, Ngalim. M. 2003. Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Sholihin,
Muhammad., 2007. Perkembangan Pemikiran Filsafat Klasik hingga Modern.
Bandung; CV. Pustaka Setia.
Smith,
Linda dan Raeper. 2000. Ide-Ide Filsafat
dan Agama Dulu dan Sekarang. Yogyakarta:Kanisius.
Suparno,
Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme
dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Suriasumantri, S. Jujun. 1996. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tafsir,
Ahmad., 2005. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung;
PT Remaja Rosdakarya.
Tafsir, Ahmad. 2009. Filsafat
Ilmu:Mengurai Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Wiramihardja, Sutardjo A.
2006. Pengantar Filsafat. Bandung: PT Refika Aditama.
Kumpulan Resume Filsafat ‘What is Science’