Selasa, 17 Januari 2012

JUSTIFIKASI ‘BODOH’ GURU TERHADAP KEMAMPUAN SISWA

A.      PENDAHULUAN
            Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 39 Ayat 2 menyebutkan pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Sedangkan dalam pasal 32 Ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Berdasarkan undang-undang tersebut guru memiliki tugas yang sangat jelas yaitu merencanakan, menilai, dan membimbing peserta didik dalam hal pembelajaran.
            Pembelajaran yang dilakukan oleh guru akan menghadapkan mereka dengan peserta didik yang beragam. Untuk itu, pembelajaran hendaknya lebih diarahkan pada proses belajar kreatif dengan menggunakan proses berpikir divergen dan konvergen. Proses berpikir divergen yaitu proses berpikir ke macam-macam arah dan menghasilkan banyak alternatif penyelesaian) sedangkan proses berpikir konvergen merupakan proses berpikir mencari jawaban tunggal yang paling tepat (Uno dan Kuadrat, 2009:26). Dalam hal ini guru berfungsi sebagai fasilitator yang menjadikan siswa sebagai pusat pembelajaran. Dengan kesadaran sebagai fasilitator maka tidak akan dominasi guru terhadap siswa sehingga tercipta kebebasan mengembangkan cara berpikir dan cara belajar sesuai kemampuan siswa. Hal ini akan mendorong siswa lebih leluasa mengasah kemampuan karena tidak adanya tekanan dari guru yang biasanya mendominasi kegiatan belajar siswa. Proses pembelajaran seperti ini akan membuat siswa menikmati suasana belajar. Secara spesifik Hamzah mengemukakan bahwa salah satu pendukung terlaksananya pembelajaran yang ideal seperti di atas yaitu dengan menggunakan pendekatan kompetensi dengan proses sebagai berikut.

1.      Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bermain dan berkreativitas;
2.      Memberi suasana aman dan bebas secara psikologis;
3.      Menerapkan disiplin yang tidak kaku, peserta didik boleh mempunyai gagasan sendiri dan dapat berpartisipasi secara aktif;
4.      Memberi kebebasan berpikir kreatif dan partisipasi secara aktif.
(Uno dan Kuadrat, 2009:26).
            Membaca undang-undang dan pendapat beberapa peneliti kecerdasan seperti Gardner, Conny, dan Uno dan Kuadrat di atas, cukup memberikan gambaran ideal mengenai tugas mulia seorang pendidik yang sering kita sebut guru dalam mendorong perkembangan intelektual dan psikologi siswa. Namun, gambaran ideal tersebut belum sepenuhnya terbentuk dalam kondisi pembelajaran di Indonesia. Selain sistem pembelajaran yang berubah seiring dengan pergantian kurikulum, hal ini juga disebabkan karena pandanngan kita, khususnya guru terhadap kecerdasan masih bersifat khusus, yaitu yang berkaitan dengan IQ atau biasa dikenal dengan kecerdasan intelektual saja yang dapat diukur dengan nilai di atas kertas. Lantas anak-anak yang tidak mendapat nilai tinggi dalam mata pelajaran akan dikenal sebagai anak yang tidak pintar, bahkan tidak jarang guru secara tidak sadar menyebutnya lemah atau bodoh. Hal ini membuat tanda tanya besar karena jika guru yang berperan mendidik dan melatih siswa di sekolah menyatakan anak didiknya bodoh maka dapat dibayangkan pendapat masyarakat yang telah memandang sekolah sebagai tempat yang efektif mengukur kecerdasan anak. Justifikasi bodoh terhadap siswa tidak hanya membuktikan kegagalan guru dalam memahami amanahnya sebagai pendidik yang tercermin dalam undang-undang, terlebih lagi guru dipandang gagal dalam mengembangkan kreativitas dan jiwa kompetitif anak dalam menghadapi tantangan masa depan. Hal ini dikarenakan justifikasi guru yang tidak memahami makna kecerdasan membuat siswa memandang diri mereka sebagai anak yang bodoh. Kondisi ini tidak menutup kemungkinan akan berpengaruh terhadap psikologi siswa.
            Berdasarkan uraian di atas, maka masalah ini perlu dikaji sebagai salah satu problematika pendidikan dengan tujuan merubah paradigma cara pandang guru dalam mendidik dan menilai siswa sehingga peserta didik dapat berkembang sesuai jenis kecerdasan tertentu yang dimiliki tanpa ada justifikasi bodoh hanya karena kelemahannya pada salah satu mata  pelajaran.

B.      PEMBAHASAN
1.      Kecerdasan Majemuk
         Berdasarkan uraian di atas, maka dianggap perlu mengkaji masalah ini sebagai salah satu problematika dalam pendidikan. Hal ini dikarenakan justifikasi tersebut cukup memberi pengaruh terhadap profesionalitas guru sebagai pendidik dan siswa sebagai penerima perlakuan belajar yang akan menjadi penerus berkualitas. Tujuan tersebut dapat dicapai siswa  dididik dengan serius dan dibantu untuk menemukan kecerdasan dan bakatnya. Hal ini bisa tercapai jika guru menyadari bahwa jenis kecerdasan tidak hanya dapat dilihat dari satu kemampuan saja. Menurut Howard Gardner jenis kecerdasan dibagi menjadi tujuh kecerdasan, yaitu:
1.      Kecerdasan linguistik (berkaitan dengan bahasa)
2.      Kecerdasan logis-matematis (berkaitan dengan nalar-logika)
3.      Kecerdasan spasial (berkaitan dengan ruang dan gambar)
4.      Kecerdasan musikal (berkaitan dengan musik, irama, dan bunyi)
5.      Kecerdasan badani-kinestetik (berkaitan dengan badan dan gerak tubuh)
6.      Kecerdasan interpersonal (berkaitan dengan hubungan antarpribadi, sosial)
7.      Kecerdasan intrapersonal (berkaitan dengan hal-hal yang bersifat pribadi)
(Jasmine, 2007:14)
           Pembagian jenis kecerdasan tersebut memberikan gambaran kepada guru bahwa siswa-siswa yang kita hadapi di kelas adalah individu yang beragam, berbeda latar belakang kehidupannya dan kecerdasannya. Jika guru menemukan siswa yang memiliki kompeten dalam mata pelajaran yang satu maka tugas guru untuk mendidik dan mengarahkan siswa untuk menemukan jenis kecerdasannya bahkan menemukan bakatnya.
           Pemerintah dalam strateginya dengan tegas menyatakan tekadnya untuk mengoptimalkan potensi kemampuan manusia melalui kesempatan layanan pendidikan bagi masyarakat, dan memberikan perhatian khusus kepada anak berbakat yang memiliki kemampuan dan kecerdasan yang luar biasa. Istilah ‘berbakat’ itu sendiri adalah berkemampuan unggul dan kemampuan kecerdasan yang luar biasa sebagaimana tercantum dalam UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Uno dan Kuadrat, 2009:30).
         Jika dikaitkan dengan istilah multiple intelligences yang dikembangkan oleh Gardner, maka tidak ada batasan jika satu siswa hanya memilki satu jenis kecerdasan, bahkan dapat memungkinkan seseorang dapat memiliki dua atau lebih jenis kecerdasan. Dengan demikian, siswa yang mampu pada satu jenis keterampilan tidak harus dipaksakan untuk menguasai keterampilan lain, namun harus tetap dimotivasi untuk mempelajarinya.

2.      Contoh Kasus
         Sebagai bahan evaluasi, berikut ini disajikan beberapa contoh kasus yang menuntut perlu dikajinya masalah ini.                     
Contoh Kasus
1.      Kasus Yasmin
            Yasmin adalah salah satu siswa SMP Negeri X Mataram yang secara fisik normal seperti siswa lainnya. Namun, seseorang yang belum terbiasa melihat tingkah laku Yasmin saat belajar di kelas akan berpikir bahwa Yasmin adalah anak yang abnormal. Yasmin memiliki kebiasaan berjalan mengelilingi kelas ketika pelajaran berlangsung. Ketika orang tua Yasmin dimintai penjelasan, mereka cukup memahami dan memberi keterangan yang menyedihkan karena Yasmin yang memang terbiasa bertingkah laku seperti itu semasa SD pernah belajar dalam kondisi kaki terikat karena dikhawatirkan mengganggu temannya yang lain. Hal ini tidak logis karena Yasmin secara psikologi tidak terganggu, dia belajar seperti siswa yang lain dan mampu memberikan nilai-nilai yang baik walaupun tidak istimewa.
           Melihat masalah tersebut guru Yasmin berinisiatif mencoba mengajar dengan teknik role playing dengan memberi kutipan cerita pada siswa. Dalam kutipan tersebut terdapat dua tokoh yaitu Edward dan Steven. Siswa diminta mengembangkan cerita tersebut menjadi naskah dan memerankan salah satu tokohnya. Di luar dugaan Yasmin secara total dapat memerankan tokoh Steven dengan optimal dibandingkan teman sekelasnya.

2.      Kasus Rifky
      Saat salah satu SMP di Mataram berpartisipasi mengikuti lomba tata upacara bendera, dipilihlah beberapa siswa yang dianggap mampu menjadi petugas dan peserta upacara lengkap dengan pasukan baris-berbarisnya, salah satu siswa yang dipilih adalah Rifky. Pada saat latihan upacara di lapangan sekolah, dua orang guru (guru A dan guru B) mengamati dari depan ruang kelas. Guru B menyayangkan beberapa siswa yang dipilih tersebut, guru tersebut berpendapat bahwa Rifky dan teman-temannya tidak perlu diikutkan lomba tersebut karena mereka termasuk anak yang lemah dalam hal pelajaran. Latihan upacara akan menyita waktu belajar siswa dan membuat mereka semakin tertinggal dari siswa lainnya. Pandangan tersebut dapat disikapi dengan mencoba mengubah cara pandang terhadap kemampuan siswa-siswa tersebut, mungkin kelebihan yang dapat kita kembangkan dari Rifky dan teman-temannya berupa kemampuan di bidang seperti ini. Hal inilah yang memungkinkan mereka pecaya diri di hadapan teman-temannya yang memiliki kecerdasan di bidang lain.

3.      Kasus SMA C Mataram
            Kasus ketiga ini berkaitan dengan penilaian guru C terhadap salah satu SMA di Mataram. Guru C adalah pengajar di beberapa sekolah di Mataram. Kemampuannya mengajar di beberapa sekolah yang berbeda, menyebabkan guru C lebih mudah  menilai kualitas murid-muridnya antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lain. Dalam suatu percakapan, guru C mengungkapkan bahwa dia lebih semangat mengajar di sekolah A disbanding sekolah C karena siswa-siswa di sekolah C dinilai nakal dan bodoh.
4.      Kasus SMP B Mataram
      Kasus di SMP B Mataram menunjukkan gejala guru yang meragukan kemampuan siswa-siswanya. Kasus ini terjadi ketika sebuah institut di Mataram mengadakan lomba Olimpiade Biologi dan Mading (Majalah Dinding) sepulau Lombok. Pada saat itu seorang pendamping dari SMP A Mataram menanyakan kepada salah satu pendamping SMP B Mataram mengenai tidak adanya utusan lomba Mading dari SMP B Mataram. Pendamping tersebut menyampaikan alasannya dengan singkat, siswa tidak diperkenankan mengikuti lomba karena hanya akan menyia-nyiakan biaya pendaftaran ,dengan kata lain siswa tidak ada harapan untuk menang dalam lomba Mading tersebut.

5.      Kasus Thomas Alva Edison
            Seorang anak laki-laki berumur enam tahun, pada waktu lahir kepalanya besar. Diperkirakan mengidap penyakit otak. Ketiga kakaknya meninggal waktu lahir. Ibu anak laki-laki ini tidak setuju dengan pendapat para tetangga dan anggota keluarganya bahwa anaknya abnormal. Pada waktu dimasukkan ke sekolah, anak itu didiagnosa sakit jiwa oleh gurunya. Karena anaknya diperlakukan demikian, sang ibu pun marah sehingga anaknya ditarik dari sekolah dan diajarkannya sendiri. Si anak laki-laki yang dijuluki idiot inilah yang kita kenal sebagai Thomas Alva Edison si penemu lampu pijar, fonograf, dan mikrofon (Conny, 2008:10).

3.      Dampak
            Justifikasi bodoh yang dilakukan guru terhadap siswa akan menyebabkan beberapa dampak sebagai berikut.
1.      Siswa yang memiliki bakat terpendam tidak dapat berkembang.
2.      Siswa yang dicap lemah atau bodoh akan merasa dibatasi dalam berkreativitas.
3.      Siswa akan minder atau tidak percaya diri di hadapan siswa-siswa yang lain.
4.      Siswa tidak dapat menikmati suasana belajar yang kondusif dan memungkinkan siswa semakin terpuruk dengan rasa rendah dirinya.

C.      PENYELESAIAN
               Konsep kecerdasan majemuk cukup memberi gambaran terhadap guru tentang cara menghadapi ragam individu diajarnya di dalam kelas. Sehingga guru tidak perlu menjustifikasi siswa yang lemah dalam satu pelajaran sebagai siswa yang bodoh. Hal ini dikarenakan kemungkinan jenis kecerdasan yang dimiliki setiap siswa berbeda. Guru tidak memaksakan siswa yang cerdas dalam bidang seni untuk mendapat nilai sempurna dalam mata pelajaran matematika atau sebaliknya. Bahkan lebih baik lagi jika siswa mampu dimotivasi untuk memilki lebih dari satu jenis kecerdasan. Sesuai dengan pendapat Joyce dan Well (dalam Uno dan Kuadrat, 2009:4) bahwa mengajar adalah membantu peserta didik memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berfikir, sarana untuk mengekspresikan dirinya, dan cara-cara belajar.
Hal tersebut dapat dilakukan jika guru serius dalam menjalankan tugas mendidiknya. Sebagai langkah sederhana, guru dapat melakukan identifikasi potensi peserta didik baik melalui data objektif maupun subjektif. Data objektif diperoleh melalui cara sebagai berrikut.
1.         Skor tes inteligensi individual;
2.         Skor tes inteligensi kelompok;
3.         Skor tes prestasi;
4.         Skor tes akademik;
5.         Skor tes kreatif.
           Jika cara di atas sangat rumit, maka penggunaan data subjektif dapat membantu guru untuk mengidentifikasi kecerdasan siswa. Data subjektif dapat diperoleh dengan cara sebagai berikut.
1.         Ceklis perilaku;
2.         Nominasi oleh guru;
3.         Nominasi oleh orang tua;
4.         Nominasi oleh teman sebaya;
5.         Nominasi oleh diri sendiri.
(Uno dan Kuadrat, 2009:23-24).
               Untuk melakukan identifikasi dengan data objektif, pihak sekolah dapat bekerja sama dengan Fakultas Psikologi atau Kantor Konsultan Psikologi. Sedangkan untuk identifikasi dengan data subjektif, sekolah dapat melakukannya sendiri.




DAFTAR PUSTAKA

Gardner, Howard. 2003. Miltiple Intelligences. Jakarta: Interaksara.

Jasmine, Julia. 2007. Mengajar dengan Metode Kecerdasan Majemuk; Implementasi Multiple Intelligences. Bandung: Nuansa.

Semiawan, Conny. 2008. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta: Grasindo.

Uno, Hamzah B dan Kuadrat. 2009. Mengelola Kecerdasan dalam Pembelajaran. Jakarta:Bumi Aksara.