Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 39 Ayat 2 menyebutkan pendidik
merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan,
serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi
pendidik pada perguruan tinggi. Sedangkan dalam pasal 32 Ayat 1 disebutkan
bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki
tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik,
emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa. Berdasarkan undang-undang tersebut guru memiliki tugas yang sangat
jelas yaitu merencanakan, menilai, dan membimbing peserta didik dalam hal
pembelajaran.
Pembelajaran yang dilakukan oleh
guru akan menghadapkan mereka dengan peserta didik yang beragam. Untuk itu,
pembelajaran hendaknya lebih diarahkan pada proses belajar kreatif dengan
menggunakan proses berpikir divergen dan konvergen. Proses berpikir divergen
yaitu proses berpikir ke macam-macam arah dan menghasilkan banyak alternatif
penyelesaian) sedangkan proses berpikir konvergen merupakan proses berpikir
mencari jawaban tunggal yang paling tepat (Uno dan Kuadrat, 2009:26). Dalam hal
ini guru berfungsi sebagai fasilitator yang menjadikan siswa sebagai pusat
pembelajaran. Dengan kesadaran sebagai fasilitator maka tidak akan dominasi
guru terhadap siswa sehingga tercipta kebebasan mengembangkan cara berpikir dan
cara belajar sesuai kemampuan siswa. Hal ini akan mendorong siswa lebih leluasa
mengasah kemampuan karena tidak adanya tekanan dari guru yang biasanya
mendominasi kegiatan belajar siswa. Proses pembelajaran seperti ini akan
membuat siswa menikmati suasana belajar. Secara spesifik Hamzah mengemukakan
bahwa salah satu pendukung terlaksananya pembelajaran yang ideal seperti di
atas yaitu dengan menggunakan pendekatan kompetensi dengan proses sebagai
berikut.
1. Memberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk bermain dan berkreativitas;
2. Memberi suasana aman dan bebas secara
psikologis;
3. Menerapkan disiplin yang tidak kaku,
peserta didik boleh mempunyai gagasan sendiri dan dapat berpartisipasi secara
aktif;
4. Memberi kebebasan berpikir kreatif
dan partisipasi secara aktif.
(Uno
dan Kuadrat, 2009:26).
Membaca undang-undang dan
pendapat beberapa peneliti kecerdasan seperti Gardner, Conny, dan Uno dan
Kuadrat di atas, cukup memberikan gambaran ideal mengenai tugas mulia seorang
pendidik yang sering kita sebut guru dalam mendorong perkembangan intelektual
dan psikologi siswa. Namun, gambaran ideal tersebut belum sepenuhnya terbentuk
dalam kondisi pembelajaran di Indonesia. Selain sistem pembelajaran yang
berubah seiring dengan pergantian kurikulum, hal ini juga disebabkan karena
pandanngan kita, khususnya guru terhadap kecerdasan masih bersifat khusus,
yaitu yang berkaitan dengan IQ atau biasa dikenal dengan kecerdasan intelektual
saja yang dapat diukur dengan nilai di atas kertas. Lantas anak-anak yang tidak
mendapat nilai tinggi dalam mata pelajaran akan dikenal sebagai anak yang tidak
pintar, bahkan tidak jarang guru secara tidak sadar menyebutnya lemah atau
bodoh. Hal ini membuat tanda tanya besar karena jika guru yang berperan
mendidik dan melatih siswa di sekolah menyatakan anak didiknya bodoh maka dapat
dibayangkan pendapat masyarakat yang telah memandang sekolah sebagai tempat
yang efektif mengukur kecerdasan anak. Justifikasi bodoh terhadap siswa tidak
hanya membuktikan kegagalan guru dalam memahami amanahnya sebagai pendidik yang
tercermin dalam undang-undang, terlebih lagi guru dipandang gagal dalam
mengembangkan kreativitas dan jiwa kompetitif anak dalam menghadapi tantangan
masa depan. Hal ini dikarenakan justifikasi guru yang tidak memahami makna
kecerdasan membuat siswa memandang diri mereka sebagai anak yang bodoh. Kondisi
ini tidak menutup kemungkinan akan berpengaruh terhadap psikologi siswa.
Berdasarkan uraian di
atas, maka masalah ini perlu dikaji sebagai salah satu problematika pendidikan
dengan tujuan merubah paradigma cara pandang guru dalam mendidik dan menilai
siswa sehingga peserta didik dapat berkembang sesuai jenis kecerdasan tertentu
yang dimiliki tanpa ada justifikasi bodoh hanya karena kelemahannya pada salah
satu mata pelajaran.
B. PEMBAHASAN
1. Kecerdasan Majemuk
Berdasarkan uraian di atas, maka
dianggap perlu mengkaji masalah ini sebagai salah satu problematika dalam
pendidikan. Hal ini dikarenakan justifikasi tersebut cukup memberi pengaruh
terhadap profesionalitas guru sebagai pendidik dan siswa sebagai penerima
perlakuan belajar yang akan menjadi penerus berkualitas. Tujuan tersebut dapat
dicapai siswa dididik dengan serius dan
dibantu untuk menemukan kecerdasan dan bakatnya. Hal ini bisa tercapai jika
guru menyadari bahwa jenis kecerdasan tidak hanya dapat dilihat dari satu
kemampuan saja. Menurut Howard Gardner jenis kecerdasan dibagi menjadi tujuh
kecerdasan, yaitu:
1. Kecerdasan linguistik (berkaitan
dengan bahasa)
2. Kecerdasan logis-matematis (berkaitan
dengan nalar-logika)
3. Kecerdasan spasial (berkaitan dengan
ruang dan gambar)
4. Kecerdasan musikal (berkaitan dengan
musik, irama, dan bunyi)
5. Kecerdasan badani-kinestetik
(berkaitan dengan badan dan gerak tubuh)
6. Kecerdasan interpersonal (berkaitan
dengan hubungan antarpribadi, sosial)
7. Kecerdasan intrapersonal (berkaitan
dengan hal-hal yang bersifat pribadi)
(Jasmine,
2007:14)
Pembagian jenis kecerdasan tersebut memberikan gambaran kepada guru
bahwa siswa-siswa yang kita hadapi di kelas adalah individu yang beragam,
berbeda latar belakang kehidupannya dan kecerdasannya. Jika guru menemukan
siswa yang memiliki kompeten dalam mata pelajaran yang satu maka tugas guru
untuk mendidik dan mengarahkan siswa untuk menemukan jenis kecerdasannya bahkan
menemukan bakatnya.
Pemerintah dalam strateginya dengan
tegas menyatakan tekadnya untuk mengoptimalkan potensi kemampuan manusia
melalui kesempatan layanan pendidikan bagi masyarakat, dan memberikan perhatian
khusus kepada anak berbakat yang memiliki kemampuan dan kecerdasan yang luar
biasa. Istilah ‘berbakat’ itu sendiri adalah berkemampuan unggul dan kemampuan
kecerdasan yang luar biasa sebagaimana tercantum dalam UU No. 2 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Uno dan Kuadrat, 2009:30).
Jika dikaitkan dengan istilah multiple intelligences yang dikembangkan
oleh Gardner, maka tidak ada batasan jika satu siswa hanya memilki satu jenis
kecerdasan, bahkan dapat memungkinkan seseorang dapat memiliki dua atau lebih
jenis kecerdasan. Dengan demikian, siswa yang mampu pada satu jenis
keterampilan tidak harus dipaksakan untuk menguasai keterampilan lain, namun
harus tetap dimotivasi untuk mempelajarinya.
2. Contoh Kasus
Sebagai bahan evaluasi, berikut ini
disajikan beberapa contoh kasus yang menuntut perlu dikajinya masalah ini.
Contoh
Kasus
1. Kasus Yasmin
Yasmin adalah salah satu siswa SMP
Negeri X Mataram yang secara fisik normal seperti siswa lainnya. Namun,
seseorang yang belum terbiasa melihat tingkah laku Yasmin saat belajar di kelas
akan berpikir bahwa Yasmin adalah anak yang abnormal. Yasmin memiliki kebiasaan
berjalan mengelilingi kelas ketika pelajaran berlangsung. Ketika orang tua
Yasmin dimintai penjelasan, mereka cukup memahami dan memberi keterangan yang
menyedihkan karena Yasmin yang memang terbiasa bertingkah laku seperti itu
semasa SD pernah belajar dalam kondisi kaki terikat karena dikhawatirkan
mengganggu temannya yang lain. Hal ini tidak logis karena Yasmin secara
psikologi tidak terganggu, dia belajar seperti siswa yang lain dan mampu
memberikan nilai-nilai yang baik walaupun tidak istimewa.
Melihat masalah tersebut guru Yasmin
berinisiatif mencoba mengajar dengan teknik role
playing dengan memberi kutipan cerita pada siswa. Dalam kutipan tersebut
terdapat dua tokoh yaitu Edward dan
Steven. Siswa diminta mengembangkan cerita tersebut menjadi naskah dan
memerankan salah satu tokohnya. Di luar dugaan Yasmin secara total dapat
memerankan tokoh Steven dengan
optimal dibandingkan teman sekelasnya.
2. Kasus Rifky
Saat salah satu
SMP di Mataram berpartisipasi mengikuti lomba tata upacara bendera, dipilihlah
beberapa siswa yang dianggap mampu menjadi petugas dan peserta upacara lengkap
dengan pasukan baris-berbarisnya, salah satu siswa yang dipilih adalah Rifky. Pada
saat latihan upacara di lapangan sekolah, dua orang guru (guru A dan guru B)
mengamati dari depan ruang kelas. Guru B menyayangkan beberapa siswa yang
dipilih tersebut, guru tersebut berpendapat bahwa Rifky dan teman-temannya tidak
perlu diikutkan lomba tersebut karena mereka termasuk anak yang lemah dalam hal
pelajaran. Latihan upacara akan menyita waktu belajar siswa dan membuat mereka
semakin tertinggal dari siswa lainnya. Pandangan tersebut dapat disikapi dengan
mencoba mengubah cara pandang terhadap kemampuan siswa-siswa tersebut, mungkin
kelebihan yang dapat kita kembangkan dari Rifky dan teman-temannya berupa
kemampuan di bidang seperti ini. Hal inilah yang memungkinkan mereka pecaya
diri di hadapan teman-temannya yang memiliki kecerdasan di bidang lain.
3. Kasus SMA C Mataram
Kasus ketiga ini berkaitan dengan
penilaian guru C terhadap salah satu SMA di Mataram. Guru C adalah pengajar di
beberapa sekolah di Mataram. Kemampuannya mengajar di beberapa sekolah yang
berbeda, menyebabkan guru C lebih mudah
menilai kualitas murid-muridnya antara sekolah yang satu dengan sekolah
yang lain. Dalam suatu percakapan, guru C mengungkapkan bahwa dia lebih semangat
mengajar di sekolah A disbanding sekolah C karena siswa-siswa di sekolah C
dinilai nakal dan bodoh.
4. Kasus SMP B Mataram
Kasus di SMP B
Mataram menunjukkan gejala guru yang meragukan kemampuan siswa-siswanya. Kasus
ini terjadi ketika sebuah institut di Mataram mengadakan lomba Olimpiade
Biologi dan Mading (Majalah Dinding) sepulau Lombok. Pada saat itu seorang
pendamping dari SMP A Mataram menanyakan kepada salah satu pendamping SMP B
Mataram mengenai tidak adanya utusan lomba Mading dari SMP B Mataram.
Pendamping tersebut menyampaikan alasannya dengan singkat, siswa tidak
diperkenankan mengikuti lomba karena hanya akan menyia-nyiakan biaya
pendaftaran ,dengan kata lain siswa tidak ada harapan untuk menang dalam lomba
Mading tersebut.
5. Kasus Thomas Alva Edison
Seorang anak laki-laki berumur enam
tahun, pada waktu lahir kepalanya besar. Diperkirakan mengidap penyakit otak.
Ketiga kakaknya meninggal waktu lahir. Ibu anak laki-laki ini tidak setuju
dengan pendapat para tetangga dan anggota keluarganya bahwa anaknya abnormal.
Pada waktu dimasukkan ke sekolah, anak itu didiagnosa sakit jiwa oleh gurunya.
Karena anaknya diperlakukan demikian, sang ibu pun marah sehingga anaknya
ditarik dari sekolah dan diajarkannya sendiri. Si anak laki-laki yang dijuluki
idiot inilah yang kita kenal sebagai Thomas Alva Edison si penemu lampu pijar,
fonograf, dan mikrofon (Conny, 2008:10).
3. Dampak
Justifikasi bodoh yang dilakukan
guru terhadap siswa akan menyebabkan beberapa dampak sebagai berikut.
1. Siswa yang memiliki bakat terpendam
tidak dapat berkembang.
2. Siswa yang dicap lemah atau bodoh akan
merasa dibatasi dalam berkreativitas.
3. Siswa akan minder atau tidak percaya
diri di hadapan siswa-siswa yang lain.
4. Siswa tidak dapat menikmati suasana
belajar yang kondusif dan memungkinkan siswa semakin terpuruk dengan rasa
rendah dirinya.
C. PENYELESAIAN
Konsep kecerdasan majemuk cukup
memberi gambaran terhadap guru tentang cara menghadapi ragam individu diajarnya
di dalam kelas. Sehingga guru tidak perlu menjustifikasi siswa yang lemah dalam
satu pelajaran sebagai siswa yang bodoh. Hal ini dikarenakan kemungkinan jenis
kecerdasan yang dimiliki setiap siswa berbeda. Guru tidak memaksakan siswa yang
cerdas dalam bidang seni untuk mendapat nilai sempurna dalam mata pelajaran
matematika atau sebaliknya. Bahkan lebih baik lagi jika siswa mampu dimotivasi
untuk memilki lebih dari satu jenis kecerdasan. Sesuai dengan pendapat Joyce dan
Well (dalam Uno dan Kuadrat, 2009:4) bahwa mengajar adalah membantu peserta
didik memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berfikir, sarana
untuk mengekspresikan dirinya, dan cara-cara belajar.
Hal
tersebut dapat dilakukan jika guru serius dalam menjalankan tugas mendidiknya. Sebagai
langkah sederhana, guru dapat melakukan identifikasi potensi peserta didik baik
melalui data objektif maupun subjektif. Data objektif diperoleh melalui cara
sebagai berrikut.
1.
Skor
tes inteligensi individual;
2.
Skor
tes inteligensi kelompok;
3.
Skor
tes prestasi;
4.
Skor
tes akademik;
5.
Skor
tes kreatif.
Jika cara di
atas sangat rumit, maka penggunaan data subjektif dapat membantu guru untuk
mengidentifikasi kecerdasan siswa. Data subjektif dapat diperoleh dengan cara
sebagai berikut.
1.
Ceklis
perilaku;
2.
Nominasi
oleh guru;
3.
Nominasi
oleh orang tua;
4.
Nominasi
oleh teman sebaya;
5.
Nominasi
oleh diri sendiri.
(Uno dan Kuadrat, 2009:23-24).
Untuk melakukan
identifikasi dengan data objektif, pihak sekolah dapat bekerja sama dengan
Fakultas Psikologi atau Kantor Konsultan Psikologi. Sedangkan untuk
identifikasi dengan data subjektif, sekolah dapat melakukannya sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Gardner, Howard. 2003. Miltiple
Intelligences. Jakarta: Interaksara.
Jasmine,
Julia. 2007. Mengajar dengan Metode
Kecerdasan Majemuk; Implementasi Multiple Intelligences. Bandung: Nuansa.
Semiawan,
Conny. 2008. Perspektif Pendidikan Anak
Berbakat. Jakarta: Grasindo.
Uno,
Hamzah B dan Kuadrat. 2009. Mengelola
Kecerdasan dalam Pembelajaran. Jakarta:Bumi Aksara.